Riau,KPonline, – Sejak lima bulan belakangan ini, pasca diterimanya upah terakhir pada bulan Februari 2025 silam, hingga awal bulan Agustus 2025, seorang pekerja di perusahaan perkebunan kelapa sawit swasta berinisial “Z”, tidak lagi memiliki kejelasan Hubungan Industrial (HI) dengan perusahaan tempatnya bekerja.
“Terakhir kali bekerja dan menerima upah di bulan Februari 2025, setelah itu, sejak bulan Maret 2025 sampai bulan Juli 2025 tidak bekerja dan tidak terima upah dari perusahaan. Dapat surat dirumahkan, kemudian dimangkirkan tiga hari berturut-turut dari perusahaan,” begitu pekerja “Z” mengisahkannya kepada wartawan, Jum’at (01/08/2025).
“Padahal, saya sudah bekerja di perusahaan PT. SAMS sejak tahun 2007 silam, sebagai buruh harian lepas (BHL) dan tahun 2009 diangkat menjadi karyawan tetap di perusahaan. Terakhir saya bekerja sebagai sopir bus sekolah hingga Februari 2025,” tuturnya.
Menurut pekerja “Z”, dirinya mendapatkan sanksi dirumahkan hingga dimangkirkan oleh perusahaan, karena dituduh telah menjual bahan bakar minyak (BBM) jenis solar milik perusahaan.
“Tapi, tuduhan itu tanpa bukti. Kan namanya fitnah, kalau menuduh tanpa bukti, tapi akibatnya saya tidak mendapatkan kejelasan kerja ataupun Hubungan Industrial di perusahaan,” pungkasnya.
Dikarena persoalan ketidakjelasan hubungan industrial (HI) dengan perusahaan tempatnya bekerja, akhirnya pekerja “Z” mengadukan prihal nasib hak-hak normatifnya kepada pengurus Lembaga Bantuan Hukum Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (LBH FSPMI) Provinsi Riau dan diterima oleh Wakil Direktur LBH FSPMI Riau, Maulana Syafi’i, SH.I.
Kepada wartawan, Maulana menjelaskan, pihaknya mencoba untuk membantu prosedur Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) antara pekerja “Z” dengan perusahaan berinisial PT. SAMS, yang berlokasi di Desa Muara Dilam, Kecamatan Kuntodarussalam Kabupaten Rokan Hulu, Provinsi Riau.

“Terkait persoalan pekerja “Z” diduga melakukan satu perbuatan hukum, katakanlah melakukan pelanggaran, karena dituduh memperjual belikan BBM Solar milir perusahaan, harusnya pihak perusahaan bisa memberikan sanksi berupa teguran ataupun sanksi peringatan kesatu, peringatan kedua dan seterusnya,” ungkapnya.
Akan tetapi, lanjut Maulana, dengan mengambil keputusan pekerja “Z” dirumahkan bahkan sampai dimangkirkan dan tidak memberikan hak-hak normatif kepada pekerja selama lima bulan terakhir, ini kan menjadi persoalan baru lagi, yang menjadi ruang untuk dilaksanakan prosedur hukum ketenagakerjaan mediasi PPHI lewat jalur Perundingan Bipartit dan Perundinga Tripartit hingga seterusnya.
“Nah, kami dari LBH FSPMI Provinsi Riau, fokus untuk mendampingi dan/atau mewakili pekerja “Z” untuk kejelasan hubungan industrial dengan perusahaan tempatnya bekerja lewat jalur mediasi persuasif, sesuai amanat dari UU Nomor 2 tahun 2004 tentang PPHI,” jelasnya.
Oleh karenanya, LBH FSPMI Provinsi Riau akhirnya mengambil sikap dan bertindak sabagai Penerima Kuasa dari pekerja “Z” dan kemudian mengajukan somasi ke pihak perusahaan, agar persoalan hubungan industrial ini dapat dilakukan prosedur mediasi PPHI, terang Maulana.
Disebutkan dia, surat somasi/prosedur mediasi perundingan Bipartit PPHI PHK sepihak pekerja “Z” sudah kita layangkan ke perusahaan dan tembusannya sudah disampaikan ke kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Rokan Hulu di Pasir Pengaraian.
“Kita berharapa perusahaan tempat pekerja “Z” bekerja dapat bersikap kooperatif dan bersedia melakukan perundingan Bipartit, agar persoalan ini bisa diselesaikan secara mediasi persuasif kiranya,” pintanya. (MS)