477 Buruh Sawit Nunukan Jadi Korban PHK, SPN dan Partai Buruh Kaltara Bersuara

477 Buruh Sawit Nunukan Jadi Korban PHK, SPN dan Partai Buruh Kaltara Bersuara
Rapat dengar pendapat (RDP) DPRD Nunukan bersama Serikat Pekerja Nasional (SPN) PT KHL dan Disnakertrans membahas PHK 477 pekerja.

Nunukan, KPonline-Jeritan buruh kembali tenggelam di bawah kepentingan korporasi. Sebanyak 477 dari 700 karyawan perusahaan kelapa sawit PT Karang Juang Hijau Lestari (KHL) di Kabupaten Nunukan harus menelan pil pahit pemutusan hubungan kerja (PHK) massal, hanya karena mereka berani mogok kerja menuntut hak-hak normatif yang selama ini mereka rasa diabaikan.

Alih-alih keadilan, yang datang justru palu pemecatan. Alih-alih perlindungan negara, yang hadir justru kekosongan peran pemerintah.

Peristiwa ini memantik kemarahan dan kekecewaan mendalam Serikat Pekerja Nusantara (SPN). Dalam pernyataan sikapnya, SPN mengutuk keras pemecatan massal terhadap ratusan buruh, tanpa kompromi dan tanpa syarat.

“PHK massal dalam bentuk apa pun adalah kejahatan sosial terhadap kaum buruh,” tegas SPN.

SPN menyampaikan lima tuntutan kepada pemerintah:

1. Mengutuk dan menolak segala bentuk PHK massal, apa pun alasannya.

2. Mendesak pembentukan Satgas PHK untuk mencegah pemecatan massal yang makin brutal.

3. Menuntut Disnakertrans melakukan pengawasan aktif, agar buruh tidak diposisikan sebagai pelanggar hukum ketika mogok demi haknya.

4. Mendesak segera dibentuknya Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) di Kalimantan Utara, agar tidak ada lagi celah bagi pengusaha hitam menjebak buruh.

5. Mengimbau seluruh serikat buruh dan kaum buruh Kaltara untuk bersatu melawan PHK massal.

“Legal Tapi Tidak Bermoral”

Nada keras juga datang dari Joko Supriadi, Ketua Partai Buruh Kalimantan Utara (Kaltara). Ia menyebut PHK massal yang dilakukan PT KHL memang tampak legal secara prosedural, tetapi secara prinsip telah mengangkangi nilai kemanusiaan.

“Kalau hanya bersembunyi di balik pasal, mungkin itu sah. Tapi secara moral, ini kejahatan. Ini menyangkut 477 kepala keluarga; istri, anak, dan masa depan mereka,” tegas Joko.

Menurutnya, mogok kerja tidak bisa dijadikan alasan utama PHK, karena mogok tersebut lahir dari ketidakadilan yang dirasakan buruh, dari hak-hak yang tidak mereka terima. Dalam situasi seperti ini, negara seharusnya hadir sebagai penengah, bukan penonton.

Namun yang terjadi justru sebaliknya.

“Pemerintah tidak hadir. Tidak ada pendampingan. Tidak ada pencegahan. Satgas PHK yang kami tuntut pun tidak pernah dibentuk,” kritiknya.

PHI Tidak Ada, Buruh Dipaksa Menyeberang Provinsi

Masalah kian pelik karena Kalimantan Utara hingga kini belum memiliki Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Akibatnya, ratusan buruh Nunukan dipaksa memperjuangkan nasib mereka ke PHI Kalimantan Timur, dengan segala keterbatasan biaya, jarak, dan akses.

Situasi inilah yang, menurut Joko, menjadi celah besar yang dimanfaatkan perusahaan.

“Diskusi bipartit disebut belum selesai, tapi lanjutan hukumnya adalah PHI. Masalahnya, PHI tidak ada di Kaltara. Buruh yang dirugikan, perusahaan aman,” ujarnya.

PHI Kaltim: Mogok Dinyatakan Tidak Sah, PHK Dilegalkan

Dalam putusan PHI Kalimantan Timur pada Selasa, 16 Desember 2025, gugatan perusahaan dikabulkan sebagian. Amar putusan menyatakan:

• Mogok kerja 5–14 Mei 2025 dinyatakan tidak sah

• Hubungan kerja 477 buruh dinyatakan berakhir sejak 14 Mei 2025, dengan kualifikasi mangkir

• Dasar hukum merujuk PP Nomor 35 Tahun 2021

• Perusahaan diwajibkan membayar uang penggantian hak sisa cuti sebesar Rp709.708.330

• Gugatan buruh dalam rekonvensi ditolak seluruhnya

• Biaya perkara sebesar tiga puluh juta lima ratus dua puluh delapan ribu rupiah, dibebankan kepada negara

Putusan ini menjadi tamparan keras bagi rasa keadilan buruh. Tuntutan hak berujung pemecatan. Perlawanan berujung legalisasi penderitaan.

PR Besar Negara yang Terus Dibiarkan

Bagi Partai Buruh Kalimantan Utara, kasus ini adalah akumulasi kelalaian negara yang dibiarkan bertahun-tahun.

“PHI belum ada karena alasan teknis di MA dan Kemenpan RB. Tapi rakyat tidak bisa menunggu. Perut tidak bisa menunggu,” kata Joko.

Ia menegaskan, PHI di Kalimantan Utara harus segera dibentuk, tanpa alasan, tanpa penundaan. Jika tidak, PHK massal akan terus menjadi senjata ampuh pengusaha untuk membungkam buruh.

Ancaman Perlawanan Lebih Jauh

Partai Buruh Kaltara menyatakan tidak akan diam. Perlawanan akan terus dilakukan, baik melalui jalur hukum maupun gerakan massa.

“Kalau harus sampai penutupan publik secara paksa, kami siap. Ini nasib orang banyak, dan kami siap pasang badan,” kata Joko.

Ia juga menyerukan persatuan seluruh serikat buruh di Kalimantan Utara, tanpa sekat organisasi atau afiliasi politik.

“Kita gas bersama. PHI harus ada. PHK massal harus dicegah. Satgas PHK bisa dibentuk di daerah, tidak perlu menunggu pusat. Ini kebutuhan mendesak rakyat pekerja.”

Kasus PT KHL Nunukan kini menjadi cermin buram relasi industrial di Kalimantan Utara, dimana ketika buruh bersuara, yang datang justru pemecatan. Ketika buruh menuntut hak, negara memilih absen. Dan selama negara terus abai, PHK massal akan tetap menjadi momok paling nyata dan sangat merugikan bagi kaum buruh di Kalimantan Utara.