Purwakarta, KPonline – Dibalik gemerlap angka yang dipamerkan, kisah getir pekerja Indonesia terus bergema. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan telah menyerap 303 ribu tenaga kerja pada paruh pertama 2025, sebuah klaim yang bertabrakan dengan realitas pemutusan hubungan kerja (PHK) yang meluas. Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat 42.385 pekerja terkena PHK hingga Juni 2025, sementara Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) memperkirakan hingga 150.000 pekerja terdampak, termasuk 10.969 dari PT Sri Rejeki Isman dan 1.100 dari PT Yamaha Music.
Apakah ini pencapaian gemilang, atau sekadar topeng statistik?
Presiden Partai Buruh/KSPI, Said Iqbal, menggugat dengan tegas, menyebut data tersebut “Asal Bapak Senang” (ABS)—indikasi kuat adanya motif politis. Sementara Wahyu Hidayat, Ketua Pimpinan Cabang (PC) Serikat Pekerja Automotif Mesin dan Komponen (SPAMK) Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Kab. Purwakarta menambahkan bahwa angka 303 ribu kemungkinan besar merupakan data kuartal I 2020 (303.085 pekerja, per Databoks), bukan refleksi 2025.
Bukti tak terbantahkan: Indeks Manajer Pembelian (PMI) manufaktur mencatat 47,4 pada Mei 2025, menandakan kontraksi industri. Sementara itu, Permendag No. 8/2024 memicu banjir impor, menghantam sektor tekstil dengan PHK masal.
Kemenperin membela diri dengan mengutip Indeks Kepercayaan Industri (IKI) 52,50 pada Juni 2025 sebagai tanda pemulihan. Namun, Juru Bicara Febri Hendri mengakui PHK dua juta pekerja sejak Agustus 2024 akibat kebijakan impor. Data Kemnaker memperlihatkan penurunan tenaga kerja industri dari 23,98 juta (Agustus 2024) menjadi 19,60 juta (Februari 2025)—sebuah ketidaksesuaian yang mencurigakan. Tanpa metodologi yang terbuka, klaim 303 ribu pekerja ini hanyalah fatamorgana.
“Di tengah gelombang PHK dan antrian berdesak para pelamar kerja yang masih terus terjadi, di situasi penantian janji May Day yang tak jua terealisasi dengan semakin menggilanya outsourcing maupun sikap DPR dan pemerintah yang seolah masih berleha-leha untuk menggarap UU Ketenagakerjaan baru sebagaimana amar putusan MK, maka Pernyataan Kemenperin hanyalah fatamorgana semata!” ujar Wahyu.
Kemenperin harus publikasikan metodologi pengumpulan data, atau sangkaan Said Iqbal dan Wahyu Hidayat akan menjadi suara rakyat. Solusi yang konkret meliputi insentif untuk industri lokal, dan program reskilling skala besar serta penghapusan outsourcing pekerja yang terus menghisap. Rakyat berhak atas kebenaran, dan pekerja menanti kebijakan yang mengangkat harkat mereka. Saatnya pemerintah menepati janji dengan fakta, bukan sekadar retorika