3 000 Pekerja Boeing Mogok, Tolak Kenaikan 40 Persen demi Martabat dan Pengakuan

3 000 Pekerja Boeing Mogok, Tolak Kenaikan 40 Persen demi Martabat dan Pengakuan
Foto by Jason Redmond/AFP

St. Louis, AS, KPonline – Sebanyak 3.000 pekerja Boeing yang tersebar di St. Louis dan Illinois melakukan aksi mogok kerja pada Selasa (5/8/2025) waktu setempat. Aksi ini menjadi sorotan nasional mengingat mereka adalah para perakit jet tempur, pesawat latih, hingga pesawat nirawak militer yang berperan vital dalam sistem pertahanan Amerika Serikat.

Sejak dini hari, sejumlah karyawan telah tampak bersiap-siap di depan fasilitas Boeing, membawa spanduk dan teriakan tuntutan yang tegas: pengakuan atas peran penting mereka tidak bisa dibayar dengan angka semata.

Mereka menolak tawaran kontrak terbaru yang diajukan Boeing, yang mencakup rata-rata kenaikan upah sebesar 40 persen, kenaikan upah umum 20 persen, bonus ratifikasi sebesar US$5.000 (sekitar Rp 81,95 juta), serta peningkatan fasilitas lainnya seperti cuti sakit dan waktu liburan.

Namun bagi para pekerja, tawaran itu belum mencerminkan nilai sebenarnya dari keterampilan mereka.

“Kami bukan sekadar angka. Kami adalah orang-orang yang membuat jet tempur yang melindungi negeri ini. Kami berhak atas kontrak yang mencerminkan keterampilan, dedikasi, dan peran kami dalam pertahanan negara,” tegas Tom Boelling, Ketua Asosiasi Pekerja Mesin dan Dirgantara Internasional (IAM) Distrik 837, organisasi yang menaungi para pekerja tersebut.

Boeing melalui divisi pertahanannya, Boeing Defence, diketahui memproduksi berbagai pesawat strategis dari lokasi ini, termasuk F-15, F/A-18 Super Hornet, pesawat latih T-7 Red Hawk, serta MQ-25 Stingray, pesawat pengisian bahan bakar tanpa awak yang sedang dikembangkan untuk Angkatan Laut AS.

Pihak perusahaan menyampaikan kekecewaannya atas penolakan kontrak tersebut.

“Kami kecewa karena karyawan kami di St. Louis menolak tawaran yang menawarkan kenaikan upah rata-rata sebesar 40%,” ujar Dan Gillian, Wakil Presiden Boeing sekaligus Manajer Umum fasilitas St. Louis.

Gillian menyebut bahwa perusahaan sudah mencoba memberikan penawaran yang “kompetitif dan berkelanjutan secara finansial”, tetapi menghormati hak pekerja untuk menyuarakan pendapatnya melalui pemungutan suara.

Meski begitu, bagi para pekerja, persoalannya lebih dari sekadar uang. Isu utama yang mendorong aksi ini adalah penghargaan terhadap nilai kerja mereka, perlindungan jangka panjang, dan posisi tawar yang setara dalam perundingan kontrak.

Dalam pernyataan resminya, IAM Distrik 837 menegaskan bahwa mogok ini bukan keputusan yang mudah. Mereka menyadari bahwa pekerjaan mereka sangat strategis. Namun mereka juga percaya, bahwa justru karena itulah mereka layak mendapatkan kontrak yang lebih baik.

“Kami bukan anti-perusahaan. Kami ingin sukses bersama. Tapi kami juga ingin dihargai,” tulis mereka.

Saat ini, produksi di fasilitas Boeing di St. Louis terancam terganggu. Ribuan karyawan menolak kembali ke jalur produksi hingga tercapai kesepakatan yang dinilai adil.

Pakar hubungan industrial menyebut mogok ini bisa menjadi momentum penting bagi buruh industri pertahanan di AS. Bukan hanya karena besarnya jumlah pekerja yang terlibat, tapi juga karena simbolisme di baliknya: buruh berteknologi tinggi yang menuntut perlakuan lebih manusiawi dan adil dari perusahaan besar yang menjadi kontraktor utama pemerintah.

Sampai berita ini diturunkan, proses perundingan antara IAM dan Boeing masih mandek. Serikat pekerja menyatakan siap duduk kembali di meja negosiasi, namun dengan syarat bahwa perusahaan mendengar lebih dari sekadar laporan keuangan.