Jakarta, KPonline – Perwakilan dari Partai Buruh Said Salahuddin memaparkan 17 pokok pikiran baru dalam draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketenagakerjaan yang disusun Presidium Koalisi Serikat Pekerja–Partai Buruh (KSP-PB). Draf ini secara resmi diserahkan kepada pimpinan DPR RI dalam audiensi di Kompleks Parlemen, Senayan, Selasa (30/9/2025).
“Setidaknya ada 17 isu baru yang kami tuangkan di sini dan diharapkan bisa diatur dalam RUU Ketenagakerjaan. Semua ini berangkat dari kebutuhan riil di lapangan,” ujar Said dihadapan pimpinan DPR RI.
Isu pertama yang disorot adalah kelompok pekerja yang hingga kini belum mendapat perlindungan hukum memadai. Mereka antara lain pekerja platform digital seperti ojek online, kurir online, hingga kreator konten.
“Selama ini mereka seolah dianggap bukan pekerja. Padahal jelas ada pemberi kerja, sehingga mereka harus dipandang sebagai buruh yang memiliki hak,” kata Said.
Selain itu, buruh juga menuntut agar RUU Ketenagakerjaan baru mencakup pekerja medis, tenaga kesehatan, tenaga pendidik, serta awak kapal. Menurut Said, selama ini perlindungan hukum untuk kelompok tersebut masih sebatas diatur dalam peraturan pemerintah atau menteri, bukan undang-undang.
Isu lain yang diangkat adalah larangan praktik percaloan tenaga kerja. Said menegaskan, pencarian kerja seharusnya bebas dari calo agar tidak merugikan pencari kerja maupun perusahaan.
Buruh juga menyoroti persoalan pemagangan. Banyak kasus menunjukkan pemagang dijadikan tenaga murah pengganti pekerja. Oleh karena itu, mereka mendesak agar pemagangan diatur ketat.
“Magang hanya boleh untuk siswa atau mahasiswa sebagai bagian dari kurikulum, maksimal tiga bulan, dan tujuannya murni untuk belajar, bukan keuntungan pengusaha,” jelas Said.
Selain itu, buruh mengusulkan pelatihan vokasi diperuntukkan bagi calon pekerja, pencari kerja, maupun mereka yang terkena PHK. Sementara untuk buruh yang sudah bekerja, hanya boleh dilakukan pelatihan kerja yang menjamin hubungan kerja jelas.
RUU Ketenagakerjaan juga diharapkan memuat larangan penahanan dokumen, seperti ijazah, yang kerap dijadikan jaminan oleh perusahaan.
Buruh meminta adanya hak bagi pekerja untuk mengajukan sita jaminan kepada pengusaha, terutama jika perusahaan pailit. Dengan begitu, pesangon bagi pekerja tetap terjamin.
“Bahkan pekerja di perusahaan pemborongan juga harus dijamin haknya. Pemberi kerja wajib menyiapkan dana cadangan untuk menghadapi risiko PHK,” terang Said.
Said menegaskan, pekerja kontrak atau PKWT juga harus mendapat hak pesangon. Selama ini, PKWT sering kali dianggap tidak berhak, padahal beban kerjanya sama dengan pekerja tetap.
Lebih jauh, Partai Buruh bersama koalisi serikat pekerja mendesak agar sistem outsourcing dihapuskan. Pekerjaan hanya boleh dilakukan melalui perusahaan pemborongan dengan aturan jelas.
“Selain itu, sistem-sistem lain seperti kemitraan atau harian lepas harus tegas dinyatakan terlarang dalam UU baru,” ujar Said.
Isu terakhir yang diangkat adalah penggunaan tenaga kerja asing (TKA). Buruh menolak praktik mempekerjakan TKA tanpa Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA).
“Itu tidak boleh. Putusan MK sudah jelas, hanya direksi atau komisaris asing yang boleh tanpa RPTKA. Kalau bekerja di perusahaan, tetap wajib RPTKA,” tegasnya.
Dengan 17 isu baru ini, Koalisi Serikat Pekerja-Partai Buruh berharap DPR RI serius membahas RUU Ketenagakerjaan bersama pemerintah. Menurut Said, regulasi yang ada saat ini belum cukup melindungi pekerja di era perubahan bentuk kerja dan hubungan industrial yang semakin kompleks.
“RUU Ketenagakerjaan harus hadir sebagai payung hukum yang benar-benar menjamin perlindungan pekerja, bukan sekadar menguntungkan pengusaha,” pungkas Said.