Pelajaran dari Tutupnya 7-Eleven

Sepi pembeli, 7-Eleven menutup seluruh gerai yang ada di Indonesia.

Jakarta, KPonline – PT Modern Internasional Tbk mengumumkan rencana penutupan gerai 7-Eleven per 30 Juni 2017. Jika pekerja di perusahaan-perusahaan sudah memiliki gambaran untuk masuk kerja usai libur lebaran, tidak demikian dengan para pekerja 7-Eleven.

Kabarnya, tak ada pesangon yang mereka dapatkan. THR dan gaji pun belum sebenuhnya dibayarkan perusahaan.

Situasi yang sulit, tentu saja. Para pekerja bahkan tak tahu harus bagaimana memperjuangkan haknya.

Tentu saja, penutupan gerai berdampal kemana-mana. Petugas parkir di salah satu gerai 7-Eleven salah satunya. Jika dua-tiga tahun lalu, saat 7-Eleven ramai pengunjung, ia bisa mendapat upah parkir hingga Rp 100 ribu sehari. Sejak Maret 2017 lalu, pengunjung sudah jauh berkurang. Menjadi Rp 20 ribu sehar.

Ia makin pusing memikirkan nasibnya kini, setelah gerai itu tak buka lagi.

Marketing Manager AT&T Mahdi Rinaldi menyebut 7-Eleven di Indonesia memang tidak efisien. Menurutnya, konsep 7-Eleven di Indonesia berbeda dengan yang ada di Malaysia, Singapura, Hongkong, Filipina, bahkan di negara asalnya, Jepang.

“Di luar (negeri), 7-Eleven itu seperti warung biasa saja, kadang tidak menggunakan pendingin ruangan, nyempil di sela toko lain dan tanpa meja kursi,” ujarnya.

Dengan kondisi minimalis itu, mereka fokus menjual produk dan makanan dari kulkas, pelanggan yang berbelanja pun tak perlu nongkrong belama-lama. Sementara di Jakarta, 7-Eleven umumnya menempati bangunan yang cukup besar, bahkan dua lantai yang terang-benderang, lengkap dengan pendingin ruangan, hingga jaringan Wifi.

“Itu semuanya cost, cost dan cost yang musti dibebankan ke harga produk hingga menjadi mahal biaya produksinya,” katanya.

Apalagi rencana transaksi material Perseroan atas penjualan dan transfer segmen bisnis restoran dan convenience store di Indonesia dengan merek waralaba 7-Eleven beserta aset yang menyertainya oleh PT Modern Sevel Indonesia kepada PT Charoen Pokphand Restu Indonesia mengalami pembatalan, lantaran tidak tercapainya kesepakatan atas pihak-pihak yang berkepentingan.

Mengutip laporan keuangan yang disampaikan ke BEI, kinerja induk usaha 7-Eleven ini juga kurang menggembirakan. Tercatat hingga Maret 2017, perseroan mencatatkan rugi Rp 447,93 miliar kepada pemilik entitas induk. Padahal periode sama tahun sebelumnya untung Rp 21,31 miliar.

Jumlah kerugian itu, bagi buruh merupakan angka-angka yang tak begitu penting. Toh ketika perusahaan sedang berada di puncak kejayaan, nasib mereka tak jauh berubah. Tetapi kini ketika perusahaan rugi, hak buruh lah yang pertamakali di pangkas.

Kisah ini memberikan pelajaran bagi kita tentang pentingnya berserikat. Tidak ada jaminan perusahaan tempatmu bekerja akan terus membaik dan tidak akan tutup. Jika sudah begini, serajin dan sepandai apapun menjilat atasan tak akan berguna. Pada akhirnya semua akan kehilangan pekerjaan.

Dengan serikat pekerja, setidaknya dalam kondisi sulit seperti ini, kita masih bisa berjuang dengan dan bermartabat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *