Omah Buruh: Intimidasi Itu Nyata di Depan Mata (2)

Tulisan ini merupakan bagian kedua dari artikel bertema Omah Buruh yang ditulis Muhammad Indrayana. Dalam tulisan pertama, Indra menceritakan awal mula berdirinya Omah Buruh, sebagai pusat konsolidasi gerakan buruh. Tradisi melakukan rapat akbar dan konsolidasi gerakan ini terbangun sejak buruh Bekasi melakukan pendudukan pabrik Kymco, yang saat ini sedang pailit.

Bagian pertama tulisan ini bisa dibaca di sini: Omah Buruh: Kesetiaan yang Tak Tergantikan (1)

Bacaan Lainnya

Bekasi, KPonline – Saat itu, sebagai ketua PUK, mau tak mau aku harus aktif dalam kegiatan serikat pekerja. Ini semacam tanggungjawab atas jabatan yang aku emban. Malu rasanya mendapatkan amanah, tetapi tidak menjalannya dengan sepenuh hati.

Karena itu, setiap pulang kerja, sedapat mungkin aku menyempatkan diri ke Omah Buruh. Sekedar ngopi sambil mencari informasi dan sharing ilmu dari sesama buruh yang lain.

Tak jarang, aku pulang ke rumah dalam keadaan lelah dan lusuh. Saat hari sudah larut malam.

Satu ketika, aku mendengar kabar seorang kawan yang sekaligus tetangga rumah mengalami union busting. Mendengar kabar itu, aku tak bisa tinggal diam. Akhirnya dari Omah Buruh berlanjut begadang di pos kamling perumahan untuk bertukar pikiran dengan tetanggaku ini.

Cerita tentang union busting, buruh yang dipecat dan diintimidasi hanya karena mendirikan serikat, membuat dadaku sesak. Ini sungguh biadab. Apa salahnya butuh mendirikan organisasi?

Temanku bercerita tentang berbagai tekanan yang dihadapi pengurus serikat di tempatnya bekerja. Tidak hanya dari dalam manajemen, tetapi juga dari luar, yang di lakukan oleh para preman.

“Kalau aku siap, mas. Tetapi keluargaku, khususnya istri, belum siap,” katanya. Pelan. Aku menangkap ada kerisauan dalam dirinya.

Dalam hati aku membenarkan. Perjuangan ini memang harus berjalan dengan dukungan penuh dari keluarga. Perjuangan ini tak bisa di jalankan sendiri. Sebab risiko yang dihadapi sunggulah besar.

Aku percaya, perjuangan melalui serikat adalah bentuk jamaah dari kaum buruh. Melakukan kebaikan secara bersama-sama.

Jam sudah menunjukkan pukul 02.34 WIB. Seingatku, saat itu hari Selasa. Istriku masih terjaga di rumah ketika aku pulang. Tak langsung tidur kami berbicara ngalor ngidul tapi masih sekitar perburuhan .

Satu kalimat yang selalu kuingat dari istriku saat itu: “Ayah jaga kesehatan.”

Nasehat istri yang tak pernah bosan kepada suaminya, hingga aku pun terlelap dalam tidur karena sudah kelelahan.

Keesokan harinya, seperti biasa setelah sepulang kerja aku meluncur ke Omah Buruh. Namun di jalan, hapeku berdering. Dari istriku.

“Haloo, Ma.”

“Yah, pulang ke rumah dulu. Ada yang penting.” Suaranya terdengar sedikit panik. Tanpa pikir panjang, aku segera putar balik.

Sesampainya di rumah, ada beberapa orang yang berbadan tegap besar berdiri di samping rumah. Aku gentar.

“Selamat siang, Bang,” sapaku. Aku menjabat tanganya.

“Siang, bung. Bung yang namanya Kardi ya?” Tanpa basa-basi dia mencecarku dengan pertanyaan.

Dalam hati aku menduga. Ini pasti ada kaitannya dengan intimidasi yang di lakukan oleh preman bayaran dari perusahaan tetanggaku yang curhat semalam.

“Maaf bang, sepertinya abang salah rumah.” Kataku sambil bergaya seolah tak ada apapun. Padahal kalau mau jujur, jantung ini rasanya mau copot.

Barangkali mereka hanya mengenal dari cerita bahwa aku adalah aktivis serikat buruh. Aku menyakinkan, bahwa aku bukan Kardi.

Sambil agak mengangkat celananya yang memang agak melorot, lelaki yang satunya mundur sambil mengawasi nomor rumah. Aku menduga, gerakan ini di sengaja dilakukan dengan harapan aku melihat pistol yang ada di balik kemeja warna birunya.

Spontan ngewel juga gaya bicaraku. Siapa yang tidak keder? Sehari – harinya aku bekerja di dalam pabrik, yang dihadapi hanya mesin mesin modern buatan Jepang, tiba-tiba harus berhadapan dengan preman yang kalau di bandingkan dengan ukuran tubuh juga bagai truck puso Vs mobil karimun.

Tetapi dalam hati aku menanamkan satu sikap, bahwa aku punya Tuhan. Dengan demikian, aku bisa mengendalikan gemetar dan goncangan dalam jiwaku.

Setelah memastikan bahwa aku bukan orang yang dia cari, lima orang berbadan tegap pulang dengan memberikan pesan kalau buruh jangan membuat ulah. Jika berulah, ancamnya, dipastikan akan berhadapan dengan mereka.

Nyaliku sempat ciut. Aku gentar.
Tetapi yang lebih parah adalah kondisi istriku. Dia mengikuti percakapan kami dari balik pintu. Maka setelah itu, dua pekerjaan menanti sekaligus. Pertama meyakinkan diriku sendiri bahwa aku berada di jalan yang benar, untuk tidak gentar melanjutkan apa yang aku yakini sebagai kebenaran itu. Kedua, meyakinkan istriku tentang keselamatanku dan juga keluargaku.

Setelah mereka pergi, aku segera menelepon tetanggaku yang juga sebagai Sekretaris PUK.di perusahaan tempatnya bekerja.

“Hallo, bung Kardi…” Kataku begitu panggilan tersambung.

“Ya, bapak Wafa. Ada apa?” Begitulah sapaannya kepadaku. Mungkin karena dinisbatkan nama anakku, sehingga dia memanggilku bapak Wafa.

“Aku di Omah Buruh bareng tim advokasi Pimpinan Cabang Logam,” lanjutnya.

Mendengar posisinya sekarang, aku sangat lega. Dia berada di tempat yang tepat. Dalam keadaan selamat.

“Terus keluarga dimana, mas?”

“Ada di rumah kakaknya, di Sukaraya.” Jawabnya. Kemudian dia melanjutkan,

“Emang ada apa, pak Wafa?”

“Nggak ada apa-apa, mas. Hanya mau nanya saja. Ya sudah, aku nyusul ke Omah Buruh ya mas?” Timpaku menutupi kecurigaannya.

Begitulah, ketika gerakan buruh makin membesar, intimidasi itu nyata. Bahkan aku bisa ikut merasakannya.

Bekasi, 2 April 2014
Penulis: Muhammad Indrayana

Tulisan lain terkait Omah Buruh:

Omah Buruh: Kesetiaan yang Tak Tergantikan (1)

Omah Buruh: Intimidasi Itu Nyata di Depan Mata (2)

Omah Buruh: Tempat Kami Menyatukan Hati (3)

Omah Buruh: Saat Mereka Membutuhkan Bantuan (4)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *