Memahami Konvensi ILO No 138 dan 182 Terkait Pekerja Anak

Jakarta, KPonline – Indonesia sudah merativikasi Konvensi ILO terkait anak, yaitu Konvensi Nomor 138 dan 182.

Apa isi Konvensi ILO No. 138?

Sebagai komitment atas penghapusan pekerja anak, melalui Undang-undang Nomor 20 Tahun 1999, Indonesia sudah meratifikasi Konvensi ILO No. 138. Pada intinya, Konvensi ILO No. 138 ini berisi tentang kewajiban untuk menghapuskan praktek mempekerjakan anak dan meningkatkan usia minimum untuk diperbolehkan bekerja. Untuk pekerjaan-pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak harus diupayakan tidak boleh kurang dari 18 (delapan belas) tahun. Sedangkan untuk pekerjaan ringan tidak boleh kurang dari 16 (enam belas) tahun.

Apa isi Konvensi ILO No. 182?

Selain meratifikasi Konvensi ILO No. 138, Indonesia juga meratifikasi Konvensi ILO No. 182 melalui Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000. Adapun bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak yang dimaksud dalam Konvensi ILO No. 182 ini adalah sebagai berikut:

(a) Segala bentuk perbudakan atau praktek sejenis perbudakan, seperti penjualan dan perdagangan anak, kerja ijon (debt bondage), dan perhambaan serta kerja paksa atau wajib kerja, termasuk pengerahan anak secara paksa atau wajib untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata;

(b) Pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran, untuk produksi pornografi, atau untuk pertunjukan-pertunjukan porno;

(c) Pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan terlarang, khususnya untuk produksi dan perdagangan obat-obatan sebagaimana diatur dalam perjanjian internasional yang relevan;

(d) Pekerjaan yang sifat atau keadaan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak-anak.

Tidak hanya Undang-undang Ketenagakerjaan dan Konvensi ILO, secara khusus, Indonesia juga memiliki Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak. Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berahlak mulia, dan sejahtera.

Sejalan dengan hal itu, setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: (a) diskriminasi; (b) eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; (c) penelantaran; (d) kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; (e) ketidakadilan; dan (f) perlakuan salah lainnya.