Ketika Buruh Sekedar Jadi Pemain Pinggiran

Jakarta, KPonline – Makin kita sadari bahwa permasalahan perburuhan tidak bisa dilepaskan dari pertarungan politik, modal, ideologi dan juga agama.

Narasi besar gerakan buruh yakni terwujudnya keadilan sosial dan kesejahteraan sosial. Hal itu tidak bisa diwujudkan hanya dalam ruang ruang perundingan bipartit di perusahaan ataupun di ruang ruang tripartit yang makin nggak jelas dikarenakan pemerintah makin jelas keberpihakannnya pada pemilik modal.

Hubungan industrial yang harmonis dan berkeadilan yang ditopang oleh penegakkan hukum hanyalah harapan hampa kaum buruh. Hal ini disebabkan karena masalah hubungan idustrial dan penegakkan hukum sangat bergantung dari goodwill pemerintah dan juga komitmen pengusaha.

Aspek aspek dalam koridor hubungan industrial seperti perundingan PKB, ataupun perundingan tripartit dan yang terbaru yang sedang dikampanyekan oleh pemerintah sebagai pesanan pengusaha, hanyalah sebuah instrumen pelengkap bagi pengusaha.

Perundingan PKB dan Tripartit hanyalah masalah kecil dan hanyalah masalah yang ada dihilir bagi pemerintah dan bagi pengusaha.

Konsentrasi pengusaha adalah bagaimana mereka terus dapat memperluas pasar dan investasi , yang kemudian beririsan dengan kepentingan pemerintah untuk membuka lapangan kerja baru bagi para pengangguran yg meresahkan.

Pada titik ini, tidak heran jika masalah penegakkan hukum dan sosial dialog diabaikan oleh pemerintah. Dalam logika sesat pemerintah yang utama adalah bahwa mereka harus melindungi para pengusaha dan investor yang telah membuka lapangan pekerjaan.

Logika sesat pemerintah juga meminta agar kaum buruh tidak menghambat investasi yang masuk. Jika tidak maka akan digebuk karena menghambat dan membuat iklim investasi yang buruk.

Ketika perjuangan buruh mendapatkan keadilan mentok di ruang ruang bipartit dan tripartit serta di parlemen jalanan, kemudian kaum buruh mengadu nasib kepada parlemen yang dianggap sebagai wakil rakyat.

Apa yang terjadi ketika buruh mengadukan nasibnya ke wakil rakyat? Ternyata buruh kembali menelan pil pahit dikarenakan tidak ada
sikap keberpihakan dan keseriusan para wakil rakyat terhadap masalah buruh.

Latar belakang para politisi yang sebagiannya adalah para pengusaha atau mitranya pengusaha membuat para wakil rakyat setengah hati membantu perjuangan buruh. Jika saat musim kampanye mereka datang ke buruh dan memberikan harapan besar, namun setelah jadi hanya harapan hampa yang didapat.

Ada sedikit yang peduli pada gerakan buruh, namun jumlahnya terbatas dan terhambat oleh pemahaman perburuhannya yang terbatas pula. Sehingga tanpa wakil buruh dan tanpa partai buruh atau partai yang berideologi dan berpihak pada kaum kecil, tampaknya sulit bagi buruh berharap banyak pada parlemen.

Melihat permasalahan diatas, muncul pertanyaan, beranikah kita masuk dalam Pusaran utama pertarungan? Yakni bertarung dalam konteks Politik, Modal, Ideologi dan Agama. Atau hanya cukup puas dengan main di pinggiran area atau diluar sistem atau core pertarungannya.

Dalam konteks modal, koperasi buruh menjadi hal menarik untuk di realisasikan. Bentuk usaha atau perusahaan dengan model koperasi yangvsahamnya dimiliki bersama, bisa menjadi alternatif dalam mengimbangi hegemoni modal yg saat ini dikuasai oleh para pemodal perorangan yang tidak memiliki perspektif pemerataan dan keadilan.

Namun ingat mengapa koperasi buruh sulit berkembang, salah satunya adalah tidak ada ideologisasi atau kesadaran ideologis yang visioner dan berlandaskan pada basis solidaritas yang kuat sebagai penopangnya. Koperasi yang dimiliki bersama tetpa berjalan dalam budaya individualistik dan matrealisme.

Bagaimana dengan ideologi dan agama?
Urgensi gerakan buruh memiliki ideologi adalah menjadikan segala gerak langkahnya kemudian berbasis ide / gagasan awal yang disepakati bersama di awal. Gerakan yang dibangun bergerak dengan sebuah platform yang jelas dan terarah menuju cita cita bersama bukan bergerak tergantung kepada siapa yang memimpin.

Sedangkan agama diperlukan oleh sebuah gerakan, terutama nilai-nilai luhurnya sebagai sebuah penguat komitmen perjuangan dan mempermudah membangun solidaritas sosial dan soliditas anggota yang menjadi basis utama dalam go politik go ekonomi.

Ajaran agama yang mengarahkan pada kebaikan juga menjadikan arah gerakan pada langkah yang lurus dan menjadi pegangan dan motivasi para anggota nya untuk mau berkorban secara totalitas, saling peduli, mau berbagi dan tidak rakus serta saling membantu satu sama lain untuk kepentingan bersama.

Karena kita sadari salah satu problem utama ketidakadilan dan kesejahteraan adalah kerakusan dan arogansi dari pemilik modal.

Lantas, bagaimana jika memang nggak gerakan buruh nggak berani masuk dalam pusaran pertarungan politik, pertarungan modal, kemudian memiliki Ideologi yang visioner dan menjadikan agama sebagai sumber nilai, maka jangan pernah berharap buruh akan menjadi kelompok penentu dan kelompok yg berpengaruh sampai kapanpun.

Kelompom buruh hanya akan terus diajak ajak bertarung dalam sebuah kontestasi politik dan juga modal. Namun bukan sebagai pemain kunci, dimana setelah selesai pertarungan, cukup dengan ucapan terima kasih dan sampai jumpa di pertarungan berikutnya.

Jika siap bertarung, baik bertarung dalam Politik dan juga Ideologi, apalagi dalam konteks Modal dan Nuansa “Agama”, mari kita siapkan segala sesuatunya. Dan siapkan diri bukan hanya untuk memimpin negara, namun juga untuk memimpin peradaban. Namun juga harus siap dengan segala resiko dan butuh pengorbanan yang luar biasa.

Penulis: Muhamad Rusdi, Deputi Presiden KSPI