Ini Kejanggalan Dalam Kriminalisasi 26 Aktivis

Jakarta, KPonline – Senin (13/6/2016) persidangan 26 aktivis yang dikriminalisasi terkait dengan aksi penolakan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 memasuki agenda mendengarkan keterangan saksi dari Jaksa Penuntut Umum. Kali ini, saksi yang dihadirkan adalah anggota polisi yang merupakan Kaur II Investigasi Polres Jakarta Pusat. Dalam persidangan sebelumnya, Senin (6/6/2016) saksi yang dihadirkan adalah mantan Kapolres Jakarta Pusat.

Berdasarkan catatan LBH FSPMI, ada beberapa kejanggalan dalam kasus ini.

Bacaan Lainnya

Pertama, saksi mengatakan aksi buruh di tanggal 30 Oktober 2015 itu berlangsung damai. Tidak ada kerusakan. Ini senada dengan kesaksian yang disampaikan mantan Kapolres Jakarta Pussat  pada minggu sebelumnya.

Kedua, ketika gas air mata ditembakkan, kata saksi, buruh langsung membubarkan diri. Tidak yang bertahan. Massa aksi langsung pulang. Tidak ada yang mencoba kembali untuk melakukan aksi.

Jika kemudian aksi berjalan damai dan massa sudah bubar ketika gas air mata ditembakkan, mengapa harus ada kekerasan? Mengapa harus ada penangkapan dan dibawa ke meja hijau. Siapa yang memerintahkan pihak kepolisian untuk menangkapi aktivis buruh itu? Tentu saja, pertanyaan-pertanyaan seperti ini terus menggelayuti pemikiran kita.

Ketiga, saksi bertugas melakukan dokumentasi dalam aksi tersebut. Dia membawa handycam. Tetapi ketika ditanya apakah ada kekerasan dalam aksi tersebut? Saksi menjawab, tidak tahu. Bahkan ketika kemudian mengaku melihat buruh yang ditangkap saat dikumpulkan di taman monas dalam jarak hanya 1 meter. Tetapi saksi tidak tahu kondisi buruh yang babak belur itu.

“Saya sambil lewat. Jadi tidak memperhatikan,” dalihnya.

Minggu lalu, saksi mantan Kapolres Jakarta Pusat juga mengatakan tidak mengetahui adanya kekerasan. Buruh tidak mempercayai keterangan itu. Mengapa setiap pertanyaan soal kekerasan selalu dibawab: Tidak tahu! Lupa!

Pada titik ini, apa yang dilakukan terdakwa dan kuasa hukum dengan menolak polisi sebagai saksi menemukan relevansinya. Terdakwa khawatir polisi tidak netral. Mereka yang menangkap, melakukan kekerasan, membuat laporan. Kita curiga, tentu saja. Baca: 26 Aktivis Tolak Polisi Menjadi Saksi.

Keempat, saksi mengetahui ada negoisasi pimpinan buruh. Itu terjadi jam 18.30 wib. Inti dari negoisasi itu adalah semacam persetujuan, massa akan mundur pukul 19.15 wib. Lalu mengapa buruh didakwa melanggar batas demo pukul 18.00? Sementara sudah ada semacam restu, aksi hingga pukul tujuh lewat sekian menit. Bahkan, dalam persidangan juga diputar beberapa video terkait aksi di malam hari yang terjadi di Jakarta Pusat. Tetapi tidak dibubarkan. Tidak berujung pada kriminalisasi. Personil polisi, bahkan turut dalam aksi itu.

Kelima, dan ini yang kita sayangkan. Ketika kuasa hukum meminta agar dokumentasi negoisasi antara Kapolres dan pimpinan buruh diputar, tapi Jaksa tidak menemukan file video tersebut. Padahal saksi mengaku sudah merekamnya. Kuasa hukum berpendapat, ini adalah dokumentasi sangat penting untuk membuktikan bahwa sesungguhnya Kapolres sudah mengijinkan aksi hingga melampaui pukul 18.00.

Keenam, saksi mengatakan himbauan untuk bubar disampaikan polisi melalui satu mobil pengeras suara. Sedangkan, menurut saksi, mobil komando buruh ada tiga (meskipun yang benar ada lebih dari 7 mobil komando), yang semuanya digunakan orasi. Sehingga suara dari sound buruh jauh lebih keras. Dan, saat pengumuman membubarkan diri disampaikan, saat itu juga buruh berorasi. Dari sini dapat disimpulkan himbauan polisi tidak didengar massa.

“Terkait dengan adanya beberapa kejanggalan tersebut, sudah semestinya jika Majelis Hakim membuat keputusan yang menyatakan para terdakwa tidak bersalah,” kata Direktur Eksekutif LBH FSPMI M. Jamsari. (*)

Pos terkait