Indrasari Tjandraningsih Sebut Ada 3 Masalah Dalam Proses Penyusunan PP 78/2015

Indrasari Tjandraningsih : Peneliti Perburuhan Akatiga

Jakarta, KPonline – Peneliti Akatiga, Indrasari Tjandraningsih, menyebut ada 3 permasalahan mendasar dalam proses penyusunan PP 78/2015. Tiga permasalahan itu adalah tidak transparan, tidak partisipatif, dan tidak cermat.

Hal ini disampaikan Indrasari Tjandraningsih dalam Seminar Walfare State tentang Pengupahan yang diselenggarakan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) di Wisma Antara, Jum`at (10/3/2017).

Pertama, tidak transparan.

Bahkan, menurutnya, dalam prosesnya penyusunan, informasi tentang isi PP 78/2015 simpang siur. Sempat beredar beberapa draft PP 78/2015 yang isinya tidak sama. Indrasari yang waktu itu sedang melakukan penelitian berjumpa dengan pejabat Bappenas, Kemenko Ekonomi, Kementerian Tenaga Kerja, Kantor Wapres, dan menanyakan perihal PP 78/2015. “Dari semua instansi yang bertanggungjawab dari pemerintah itu semua mengatakan draftnya bukan dari saya,” ujar Indrasari.

Pertanyaannya kemudian, PP 78/2015 muncul dari siapa? “Diduga keras draft PP 78/2015 dari kelompok pengusaha. Tidak melibatkan serikat pekerja atau serikat buruh,” Indrasari menjawab pertanyaannya sendiri.

Indrasari melanjutkan, tidak heran jika kemudian muncul berbagai cerita dan spekulasi. Bahwa Pemerintah sedang berusaha menekan kenaikan upah minimum. Ini merupakan reaksi dari kenaikan upah minimum yang mencapai 30% lebih. Pemerintah sepertinya sudah menetapkan hati, bahwa kenaikan upah minimum memang harus di kontrol.

Kedua, prosesnya tidak partisipastif.

Hal ini terlihat, tidak ada kejelasan dari mana draft PP 78/2015. Bahkan konsepnya juga tidak tahu. Lembaga Tripartit Nasional atau Dewan Pengupahan Nasional sekalipun, tidak pernah diajak untuk mendiskusikan PP ini.

Selain tidak melibatkan serikat serikat buruh, prosesnya juga tidak melibatkan pemerintah daerah. Ketika Indrasari bertemu pemerintah di beberapa provinsi, mereka juga mengatakan tidak diajak berkonsultasi dalam proses pembuatan PP 78/2015. Hal inilah yang kemudian merepotkan pemerintah daerah, sebab yang harus mengimplementasikan adalah pemerintah daerah.

“Proses PP 78/2015 tidak ada konsultasi, yang ada adalah sosialisasi. Banyak sekali teman-teman di Dinas Tenaga Kerja di Provinsi dan Kabupaten/Kota yang terkejut. Karena dia adalah sasaran tembak yang digeruduk buruh,” terangnya.

Ketiga, tidak cermat.

PP 78/2015 mengandung banyak pertentangan dengan peraturan lain yang lebih tinggi, yang berkaitan dengan proses penetapan upah minimum. Bahkan menabrak prinsip-prinsip sebuah hubungan industrial.

Menurut dosen salah satu perguruan tinggi di Jawa Barat ini, selain peraturan perundang-undangan, PP 78/2015 juga melanggar prinsip utama dalam hubungan industrial. Prinsip yang dilanggar adalah prinsip dialog sosial. Padahal perspektif buruh perlu didengar soal upah. Ketika kemudian buruh tidak diajak berkonsultasi terkait kenaikan upah, itu artinya ada masalah.

Indrasari mengigatkan, bahwa upah merupakan hal yang amat penting dan sensitif dalam lingkup hubungan industrial dan masalah ketenagakerjaan. Konflik hubungan industrial dan persoalan ketenagakerjaan di indonesia amat diwarnai oleh perselisihan upah

Oleh karena itu, menurutnya, kebijakan pengupahan harus dirumuskan secara seksama dengan secara setara mendengarkan aspirasi serikat buruh dan pengusaha sebagai pemangku kepentingan utama dalam sebuah dialog sosial. Dalam hal ini, dia menegaskan bahwa otonomi daerah, strategi industrialisasi serta kebijakan-kebijakan investasi harus menjadi menjadi pertimbangan dalam menyusun kebijakan pengupahan.

Foto: Iwan Budi Santoso