Buruh Menuntut Perbudakan Modern Dihentikan

Jakarta, KPonline – Pelanggaran praktik kerja dengan sistem alih daya (outsourcing) di perusahaan BUMN masih banyak terjadi. Sebagai perusahaan plat merah atau perusahaan milik Pemerintah, semestinya BUMN menjadi contoh bagi perusahaan-perusahaan swasta. Demikian disampaikan Ketua Umum PP SPEE FSPMI Judy Winarno di Jakarta, Senin (3/10).

Menurut Judy, pada tanggal 24 Oktober 2013 Komisi IX DPR-RI telah membentuk Panitia Kerja Outsourcing BUMN dan telah mengeluarkan surat Rekomendasi kepada Pemerintah agar segera menyelesaikan permasalahan outsourcing di BUMN dengan mengangkat pekerja outsourcing menjadi pekerja tetap di perusahaan BUMN tanpa syarat. Rekomendasi serupa juga diberikan oleh beberapa Kepala Daerah, termasuk Gubernur DKI yang pada waktu itu masih dijabat oleh Joko Widodo (sekarang Presiden RI). Namun demikian, hingga saat ini rekomendasi tersebut masih diabaikan. Bahkan ketika kini menjadi Presiden RI, seperti lupa dengan apa yang pernah direkomendasikannya.

Bacaan Lainnya

Berdasarkan kajian Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), praktik outsourcing yang diduga menyimpang di BUMN disebabkan oleh beberapa hal.

Pertama, akibat adanya Permenakertrans Nomor 19 Tahun 2012 yang memberi kewenangan kepada Asosiasi Pengusaha untuk menentukan jenis pekerjaan inti dan penunjang. Padahal batasan ini sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Kedua, tidak jelasnya pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa tenaga kerja di BUMN. Praktik outsourcing di BUMN dengan pembagian ‘subcon (sub contractor)’ dalam bentuk pemborongan pekerjaan maupun penyedia jasa pekerja/buruh saat ini banyak yang menyimpang dan tidak jelas. Banyak pekerjaan yang sifatnya core/inti diserahkan kepada perusahaan pemborongan pekerjaan dan dilakukan oleh perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.

Ketiga, Dewan Direksi di BUMN tidak bersedia melaksanakan Rekomendasi Panja OS BUMN DPR-RI untuk mengangkat seluruh pekerja outsourcing diangkat sebagai pekerja tetap. Dalam hal ini, Jamdatun bahkan sudah memberikan pendapat hukum yang intinya jika pekerja outsourcing itu diangkat, tidak ada pelanggaran Undang-undang atau Peraturan yang lain.

Keempat, praktik outsourcing di BUMN juga diindikasikan adanya ‘confilck of interest’ dari oknum pejabat-pejabat di BUMN tersebut. Patut diduga adanya praktik ‘perusahaan dalam perusahaan’ yang dilakukan oleh oknum pejabat tersebut dengan perusahaan-perusahaan outsourcing yang mendapatkan ‘tender’ melakukan pekerjaan di BUMN tersebut berdasarkan rekomendasi dari oknum pejabat-pejabat BUMN. Sebab perusahaan outsourcing (vendor) tersebut akan mengambil keuntungan dari biaya operasional yang diberikan oleh perusahaan BUMN cukup besar dengan membayar upah murah bagi pekerjanya. Disinyalir, sebagian besar perusahaan vendor tersebut pemilik sahamnya adalah mantan direksi BUMN tersebut.

Berdasarkan hal tersebut, FSPMI dan KSPI mendesak Meneg BUMN mengeluarkan instruksi kepada Perusahaan BUMN untuk mengangkat seluruh pekerja Outsourcing yang bekerja di vendor dan afiliasinya (termasuk pekerja yang statusnya belum ada ketetapan hukum) menjadi pekerja tetap di Perusahaan BUMN tempat mereka bekerja sebagaimana Rekomendasi Panitia Kerja Outsourcing BUMN DPR-RI.

Selain itu, buruh juga menuntut agar pekerja outsourcing BUMN yang di PHK dipekerjakan kembali. Sebagai contoh, pekerja outsourcing PLN yang di PHK di area Bekasi, Cianjur, Banten dan Makasar.

Tidak cukup dengan itu, buruh juga mendesak agar Menaker merevisi Permenakertrans No 19 Tahun 2012 dan mencabut Surat Edaran No 04/2012 agar tidak memberi kewenangan kepada Asosiasi membuat alur kerja untuk menentukan core dan tidak core pekerjaan. (*)

Fotografer: Eddo Dos’Santoz

 

Pos terkait