Begini Cara Buruh Menunjukkan Cinta Pada Sebuah Kota

Medan, KPonline – Sebuah kota adalah sejuta harapan bagi warganya. Harapan untuk hidup bahagia dan sejahtera, harapan untuk dapat mewujudkan segala cita dan asa. Tentu saja, tersebab karena cinta harapan itu ada. Tanpa cinta, jangankan berharap, peduli pun tidak.

Karena itulah, bertepatan dengan hari jadi kota Medan yang ke 427, banyak harapan dari masyarakat yang ditujukan untuk kota ini. Banyak cinta yang diungkapkan. Salah satunya datang dari elemen buruh yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI).

Berbeda dengan elemen lain, FSPMI menyampaikan rasa cinta dengan kritik. Bagi Ketua DPW FSPMI Provinsi Sumatera Utara, Willy Agus Utomo, sikap kritis sejatinya lahir karena kita peduli.

Itulah sebabnya, ketika Pemerintah Kota Medan Walikota Medan merayakan hari ulang tahun (HUT) Kota Medan yang ke 427, Senin (3/7/2017), Willy mengatakan bahwa di usianya yang sudah ratusan tahun tersebut, belum juga membuat kalangan buruh di Medan meningkat kesejahteraannya.

“Medan kota besar dan salah satu kota industri terbesar di Indonesia. Sudah seharusnya Walikota juga peduli terhadap nasib para buruh,” kata Willy didampingi Seketaris DPW FSPMI Provinsi Sumatera Utara, Tony Rickson Silalahi.

Adapun,  kata Willy,  kegagalan Walikota Medan di mata buruh yakni,  praktek penerapan upah murah terhadap buruh,  pekerja kontrak,  outsourcing meraja lela, banyak perusahaan pelanggar hak normatif bebas tanpa ada sanksi tegas dari jajaran dinas tenaga kerja (Disnaker) dan lain sebagainya.

“Upah buruh di Kota Medan sudah sangat tertinggal jauh dari daerah lain di pulau Jawa,  contoh dengan Pasuruan,  Sidoarjo,  Bekasi,  Purwakarta, dan Tangerang. Selisih upahnya sudah diatas satu juta rupiah. Padahal lima tahun yang lalu selisih upahnya tak terlalu signifikan,  bahkan upah Medan masih di atas beberapa daerah lain,” bebernya.

Bicara masalah buruh kontrak dan outsourcing,  Willy mengatakan,  hampir 80% , buruh yang bekerja di kota Medan berstatus kontrak,  dan nasib keberlangsungan bekerja para buruh terus terancam. Bahkan jajaran Pemerintah Kota Medan terkesan abai akan hal ini.

“Tidak ada lagi istilah pekerja tetap di sini,  kapan perlunya saja tenaga buruh di pakek. Justru jajaran pemko Medan diduga terkesan membiarkan perusahaan biro jasa outsorcing tersebut melakukan pelanggaran,” tegasnya.

Lebih lanjut Willy mengatakan, intinya hari ini carut marut masalah ketenagakerjaan juga masih banyak terjadi di kota Medan, bahkan kasus perburuhan banyak yang tidak terselesaikan. Semua merupakan tangung jawab Walikota sebagai atasan dari Disnaker setempat.

“Jadi jangan seremonial saja merayakan hari jadi kota Medan,  tapi harusnya walikota melihat masyarakatnya, sudahkah rakyatnya hidup dengan tenang dan sejahtera. Kalau tidak begitu,  kita anggap kinerja walikota gagal,” kata Willy.

Betapapun, dengan menyampaikan kritik ini, bukan berarti ada kebencian. Justru sebaliknya, ini adalah perwujudan dari rasa cinta. Keinginan untuk melihat Kota Medan yang usianya sudah lebih dari 400 tahun bisa menjadi lebih baik lagi. Menjadi kota idaman bagi setiap orang. Kota kebanggaan bagi seluruh masyarakat yang tinggal di dalamnya.

Tentu saja, harapan ini tidaklah berlebihan. Terlebih lagi, kota Medan adalah ibukota propinsi Sumatera Utara, kota terbesar di pulau Sumatera dan merupakan kota nomor empat dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia.

Kata Medan berasal dari kata bahasa Melayu, yang berarti tanah lapang atau tempat yang luas. Secara resmi Hari jadi Kota Medan diperingati tiap 1 Juli. Pada zaman dahulu Kota Medan ini dikenal dengan nama Tanah Deli dan keadaan tanahnya berawa-rawa kurang lebih seluas 4000 Ha. Beberapa sungai melintasi Kota Medan ini dan semuanya bermuara ke Selat Malaka. Sungai-sungai itu adalah Sei Deli, Sei Babura, Sei Sikambing, Sei Denai, Sei Putih, Sei Badra, Sei Belawan dan Sei Sulang Saling/Sei Kera.

Pada mulanya yang membuka perkampungan Medan adalah Guru Patimpus lokasinya terletak di Tanah Deli, maka sejak zaman penjajahan orang selalu merangkaikan Medan dengan Deli (Medan–Deli). Setelah zaman kemerdekaan lama kelamaan istilah Medan Deli secara berangsur-angsur lenyap sehingga akhirnya kurang popular.

Menurut Volker pada tahun 1860 Medan masih merupakan hutan rimba dan disana sini terutama dimuara-muara sungai diselingi pemukiman-pemukiman penduduk yang berasal dari Karo dan semenanjung Malaya. Pada tahun 1863 orang-orang Belanda mulai membuka kebun Tembakau di Deli yang sempat menjadi primadona Tanah Deli. Sejak itu perekonomian terus berkembang sehingga Medan menjadi Kota pusat pemerintahan dan perekonomian di Sumatera Utara.

Penulis: Afriyansyah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *