Wakil Rakyat Menutup Peluang Munculnya Calon Presiden Alternatif

Jakarta, KPonline – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pemilu menjadi menjadi Undang-Undang. DPR akhirnya menyetujui paket A yang berisi presidential threshold (20-25 persen), parliamentary threshold (4 persen), sistem Pemilu (terbuka), dapil magnitude DPR (3-10), dan metode konversi suara (sainte lague murni).

Empat fraksi di DPR, PKS, Gerindra, Demokrat, dan PAN, yang tidak menyetujui pengambilan keputusan untuk presidential threshold melakukan aksi walkout.

Bacaan Lainnya

Lebih dari dua ratus anggota DPR pun berbondong-bondong meninggalkan ruangan sidang. Tak ketinggalan tiga pimpinan sidang, Fadli Zon dari Gerindra, Taufik Kurniawan dari PAN, dan Agus Hermanto dari Demokrat.

“Karena fraksi Gerindra, Demokrat, PKS, dan PAN walkout, saya sejalan dengan fraksi saya fraksi Gerindra. Untuk itu saya pamit undur diri sebagai pimpinan sidang,” ujar Fadli Zon.

Tinggal dua pimpinan sidang yang ada di ruang rapat. Mereka adalah Ketua DPR RI Setya Novanto dan Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah. Novanto kemudian mengambil palu sidang dan langsung memimpin rapat. Namun sebelum itu, Fahri Hamzah menyatakan bahwa sesungguhnya dia tak setuju dengan presidential threshold, namun dia juga tak mau meninggalkan ruang rapat.

“Saya bertahan sebagai pimpinan Dewan. Secara etis memang harus ada dua. Saya mengambil itu. Kedua, kalau ditanya sikap angket, karena saya satu-satunya yang berbeda dengan bapak-bapak, saya pilih B tapi tidak walkout,” ujar Fahri yang disambut tepuk tangan semua anggota di dalam ruang rapat.

Mendengar itu, Novanto kemudian menyatakan dirinya mengapresiasi keputusan Fahri. Dia lalu melanjutkan sidang.

“Izinkan rapat saya lanjutkan. Ini adalah bentuk demokrasi yang ada. Kepada kawan-kawan fraksi tetap mengambil RUU ini, apakah bisa disetuju?” Tanya tersangka kasus dugaan korupsi e-KTP ini yang disambut setuju semua anggota.

“Karena tinggal opsi A. Kita ambil secara aklamasi saja. Apa disetujui?” Tanya Novanto lagi

“Setuju,” jawab semua anggota DPR.

Novanto kemudian mengetok palu sebanyak tiga kali, tanda RUU Pemilu telah sah menjadi undang-undang. Drama pembahasan RUU Pemilu berakhir.

Menutup Peluang Presiden Alternatif

Pertanyaan kita sederhana. Bagaimana dengan partai yang baru ikut Pemilu dalam 2019 nanti? Jelas mereka tidak memiliki kesempatan untuk mengajukan calon presiden dari partainya. Jangankan partai yang baru, tidak semua partai politik yang ada di DPR ini memiliki kesempatan untuk mengajukan calon presiden.

Ketua Fraksi Partai Demokrat Benny K Harman mengatakan, partainya secara tegas menolak ketentuan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold dalam Undang-Undang Pemilu. Salah satu alasannya, dalam presidential threshold terkandung maksud dan niat untuk membatasi dan menutup peluang munculnya tokoh-tokoh alternatif dalam kontestasi Pemilu Presiden 2019.

Undang-Undang Pemilu sejatinya harus memfasilitasi munculnya calon pemimpin alternatif. Dengan demikian, persaingan dalam demokrasi elektoral meningkat dan semakin baik, termasuk meningkatkan partisipasi dan kualitas pemimpinnya.

“Demokrasi yang mempersempit pilihan rakyat apalagi menutup peluang munculnya persaingan sehat dalam pemilu, jelas akan gagal menghasilkan pemimpin yang berkualitas atas dasar legitimasi yang kuat dari rakyat,” kata Benny.

Alasan lainnya yaitu ambang batas pencalonan presiden yang merujuk pada hasil Pemilu Legislatif 2014 sudah tidak relevan lagi. Menurut Demokrat, hasil perolehan kursi DPR dalam Pemilu 2014 sudah digunakan sebagai rujukan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014.

Menggugat ke Mahkamah Konstitusi

Sementara itu, Yusril Ihza Mahendra mengatakan, secepat setelah RUU ini ditandatangani oleh Presiden dan dimuat dalam lembaran negara, dia akan mengajukan permohonan pengujian undang-undang ke Mahkamah Konstitusi.

“Perjuangan secara politik oleh partai-partai yang menolak keberadaan presidential treshold, usai sudah. Kini menjadi tugas saya untuk menyusun argumen konstitusional untuk menunjukkan bahwa keberadaan presidential treshold dalam pemilu serentak adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) jo Pasal 22E ayat (3) UUD 45,” kata pakar hukum tata negara ini.

Sebagaimana disebutan dalam Pasal 6A ayat (2) bahwa “Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.”

“Pemilihan umum yang mana yang pesertanya partai politik? Jawabannya ada pada Pasal 22E ayat 3 UUD 45 yang mengatakan bahwa pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD,” katanya.

Karenanya, dia menegaskan bahwa pengusulan capres dan cawapres oleh parpol peserta pemilu itu harus dilakukan sebelum pemilu DPR dan DPRD. Baik pemilu dilaksanakan serentak maupun tidak serentak, presidential treshold mestinya tidak ada.

“Apalagi pemilu serentak, yang perolehan kursi anggota DPRnya belum diketahui bagi masing-masing partai. Dengan memahami dua pasal UUD 45 seperti itu, maka tidak mungkin presidential treshold akan menjadi syarat bagi parpol dalam mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden,” papar Prof. Yusril.

Dia berharap, MK sebagai “pengawal penegakan konstitusi” akan tetap jernih dalam memeriksa permohonan pengujian UU Pemilu ini.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *