Upah Murah Korbankan Anak Bangsa

Jakarta, KPonline – Permasalahan upah buruh hingga hari ini masih menjadi masalah pelik di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Dalam catatan penulis sejak era reformasi hingga sekarang buruh dan pengusahan masih terus berkonflik terkait masalah pengupahan. Buruh berpandangan, Indonesia menerapkan politik upah murah untuk menarik investor.

Editorial KP melihat, sebagian masyarakat masih menilai permasalahan pengupahan ini hanya semata masalah buruh dengan pengusaha. Padahal sebenarnya pemerintah turut andil membuat daya tawar buruh menjadi rendah di depan pengusaha dengan beragam kebijakan yang selalu merugikan buruh, tapi disisi lain selalu menguntungkan pengusaha.

Bahkan peneliti INDEF, Enny Sri Hartati dengan tegas mengatakan kebijakan pemerintah menjadi penyebab utama yang membuat buruh dan pengusaha selalu berkonflik saat menetapkan upah. Dan ini sudah terjadi puluhan tahun. Menurut Enny berdasarkan kajian lembaganya dalam rentang waktu hingga 10 tahun terakhir Indonesia tidak pernah beranjak dari posisi buncit dalam hal kesejahteraan buruh.

Kondisi ini pula yang membuat buruh menjadi marah dan berunjuk rasa menjadi pilihan dalam menyuarakan protesnya. Setiap hari kita membaca diberbagai media massa, kaum buruh melakukan aksi unjuk rasa dan sebagian besar aksi tersebut dipastikan mengusung isu murahnya upah yang mereka terima.

Disisi lain pemerintah terlihat tidak peka bahkan terkesan tidak peduli kondisi ini. Bahkan dibeberapa propinsi dan kabupaten, pemerintah daerah setempat tidak sungkan-sungkan mengeluarkan kebijakan upah dibawah UMK yang sudah diputuskan diawal tahun.

Misalnya Depok yang baru-baru ini menetapkan kebijakan upah disektor padat karya atau Garmen sebesar Rp 1,4 juta (kemudian direvisi menjadi 2,9 juta) sangat jauh lebih kecil dibandingkan Upah Minimum Kota (UMK) Depok Tahun 2017, yang nilainya Rp3.297.489 perbulan.

Memang kebijakan tersebut langsung mendapat perlawanan, bahkan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pekerja Nasional (DPP SPN) Iwan Kusuma dengan tegas menyatakan menolak rencana pemerintah tersebut dan akan melakukan perlawanan. Pertanyaannya mengapa pemerintah berani mengeluarkan kebijakan tersebut?

Mungkin ada benarnya jika desas desus yang berkembang di masyarakat yang mengatakan pemerintah saat ini dibiayai oleh pemilik modal, sehingga untuk menyenangkan hati majikannya (pemilik modal) maka segala cara akan ditempuh tak peduli cara tersebut mengorbankan anak bangsa.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *