Tanggapan Atas Tulisan “seword.com” Mengenai Pemogokan Pekerja JICT

Jakarta, KPonline – Seword.com menurunkan artikel berjudul ‘Isu Mogok Kerja Pegawai JICT, Gaji Gede Masih Dirasa Kurang, Akhirnya Sial Dikurangi Gajinya’. Ditulis oleh Xhardy, tanggal 5 Agustus 2017. Tulisan ini seperti hendak menggiring opini negatif terhadap mogok kerja yang dilakukan pekerja JICT. Dan tentu saja, ini memberikan image buruk terhadap perjuangan kaum buruh

“Harusnya pakai baju lusuh, muka kusam, naik sepeda butut,” tulisnya.

Pernyataan ini menghina akal sehat. Seolah hanya orang miskin yang berhak menuntut, yang boleh menyampaikan aspirasi. Tetapi ada maksud lain dibalik pernyataan itu. Seperti hendak memandang orang miskin dengan sebelah mata. “Biarin saja demo, toh orang miskin ini…”

Oleh karena itu, saya ingin bertanya. Apakah hal ini merupakan gambaran para penulis seword.com yang menghamba pada uang? Asal sudah dikasih fasilitas dan uang, kemudian diam dan tidak lagi menuntut yang macam-macam. Dengan gaji yang sudah relatif besar, seharusnya Xhardy bisa menilai, ada sesuatu yang lebih besar lagi. Bukan sekedar permasalahan gaji.

Berikut beberapa tanggapan saya terkait tulisan di seword.com.

Gaji gede tapi tetap demo.

Penulis seword.com ini mengaku kaget, karena dengan jumlah gaji yang terbilang fantastis pekerja JICT masih tetap saja melakukan mogok kerja.

Apa yang salah dengan gaji besar? Ini soal yang pertama. Bahkan, sudah seharusnya seluruh pekerja di Indonesia mendapatkan gaji yang besar. Soal yang kedua, apakah hanya karena sudah diberi gaji besar, kemudian para pekerja boleh diperlakukan apa saja? Tentu saja tidak.

Penulis seword.com ini harus tahu, bahwa tidak semua orang bisa dibeli dengan uang. Untuk hak-haknya yang dirampas, ada orang-orang yang bersikap idealis. Mereka akan melawan, sebab uang bukanlah ukuran.

Para pekerja JICT bergaji tiggi, karena produktivitasnya baik. Perusahaan tidak rugi membayar besar. Buktinyam selama ini pelabuhan berjalan lancar. Siapa yang berjasa kalau bukan karena kerja-kerja mereka?

Pemogokan mengganggu investasi.

Karena itu saya ingin bertanya. Mana yang lebih merugikan. Memenuhi tuntutan para pekerja, atau membiarkan pekerja melakukan pemogokan yang mengganggu investasi?

Sederhana saja. Jika tuntutan pekerja yang adalah haknya itu diberikan, kerugian ini tidak akan terjadi. Bahkan apa yang dituntut para pekerja jauh lebih rendah ketimbang risiko kerugian akibat mogok yang dihadapi oleh perusahaan.

Maka bukanlah mogok pekerja yang menyebabkan investasi terganggu. Tetapi kebijakan perusahaanlah akar permasalahan dari semua ini.

Mengapa selalu buruh yang notabene adalah korban dari kebijakan yang melanggar hak-haknya selalu yang disalahkan.

Pemberian sanksi terhadap pekerja yang Mogok adalah tindakan melanggar hukum

Sebanyak 541 pegawai JICT yang melakukan mogok kerja telah mendapatkan Surat Pemanggilan I dan Surat Peringatan (SP) I yang ditandatangani langsung oleh Wakil Direktur Utama JICT.

Jika penulis seword.com ini mendaku sebagai warga negara Indonesia yang taat hukum, dia harus tahu bahwa memberikan surat peringatan terhadap mogok kerja yang sah merupakan melanggaran atas hukum ketenagakerjaan.

Pihak pekerja pun sudah memberikan somasi terhadap hal ini. Lagi-lagi, ini membuktikan bahwa Xhardy sudah tidak adil dalam pikiran. Buruh yang menggunakan haknya untuk melakukan mogok kerja dianggap hanya acting, giliran perusahaan yang diduga melakukan pelanggaran justru dibela.

Jadi, dimana letak akal sehatnya?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *