Surya Tjandra: “Jangan Pernah Anggap PHK Sebagai Sesuatu yang Biasa”

Diskusi "PHK Buruh dan Perlindungan Sosial Masyarakat" yang diselenggarakan AJI Indonesia, FNV Mondial, dan PT Kereta Api Indonesia. | Foto: Kascey
Diskusi “PHK Buruh dan Perlindungan Sosial Masyarakat” yang diselenggarakan AJI Indonesia, FNV Mondial, dan PT Kereta Api Indonesia. | Foto: Kascey

Jakarta, KPonline – Jangan pernah menganggap PHK sebagai sesuatu yang biasa. Demikian dikatakan Direktur Eksekutif TURC Surya Tjandra dalam dialog bertema ‘PHK Buruh dan Perlindungan Sosial Masyarakat’ yang diselenggarakan AJI Indonesia bekerjasama dengan FNV dan PT. Kereta Api Indonesia bertempat di Stasiun Gambir, Rabu (23/3/2016).

Lebih lanjut Surya menyampaikan, bahwa setiap PHK mempunyai cerita dan makna. Setiap buruh yang di PHK, masing-masing punya kisahnya sendiri. Lebih dari itu, setiap PHK adalah sebuah pengalaman tentang ketidakadilan. Konsekwensi bisa bermacam-macam. Upah yang tidak dibayar, jaminan sosial yang terhenti, hingga beban sosial karena mendapat stigma ‘pengangguran.’

Diantara yang kita lihat, ada buruh yang melakukan aksi-aksi menolak PHK, sesungguhnya jauh lebih banyak buruh yang tidak memiliki kesempatan istimewa untuk berjuang. Kerena itu, dengan adanya pemberitaan di media massa mengenai isu-isu perburuhan dan serikat pekerja, termasuk melalui forum-forum diskusi, pelan-pelan kaum buruh akan berkembang. Dari situ, buruh akan mengetahui apa saja yang menjadi haknya, sekaligus bisa merumuskan siapa sesungguhnya yang sedang melanggar haknya itu. Tidak berhenti sebatas pada pengetahuan, dia juga harus memiliki keberanian untuk berjuang. Merebut haknya yang dirampas.

Surya merumuskan proses ini dalam tiga hapah.

Pertama, tahap merumuskan. Ini adalah tahap dimana buruh menyadari ketidakadilan yang dialaminya. Cara paling sederhana untuk mengetahui apakah ada hak yang dilanggar atau tidak adalah dengan membuka Undang-undang. Jika ada ketentuan yang tidak dijalankan, maka bisa dipastikan disitulah ada pelanggaran.

Kedua, tahap menentukan siapa yang harus bertanggungjawab. Setelah mengetahui haknya dilanggar, selanjutnya buruh harus menentukan, siapa yang bertanggungjawab. Salahnya sendiri, atau karena salah orang lain. Jika buruh di PHK karena kesalahannya sendiri, karena seperti mencuri misalnya, maka buruh juga harus menyadari kekeliruan yang dilakukannya. Tetapi jika sudah bekerja baik masih saja di PHK, maka dia bisa merumuskan bahwa pengusaha telah melakukan tindakan yang sewenang-wenang.

Untuk sampai disini, kita membutuhkan pengetahuan. Seringkali buruh tidak mengetahui, siapa yang harus bertanggungjawab atas ketidakadilan yang dialaminya. Tidak heran, jika dia menyalahkan tingkat pendidikannya yang rendah. Atau menyalahkan buruh lain yang demo menuntut kesejahteraan, pada jika mereka berhasil dirinya juga akan ikut merasakan. Itulah kenapa, terkadang buruh perlu diintervensi. Disadarkan. Dilibatkan dalam forum-forum diskusi, agar pemahamannya menjadi lebih baik.

Ketiga, tahap menuntut. Ini adalah tingkat paling tinggi. Cara membedakan buruh yang memiliki kepribadian dan yang tidak adalah dengan melihat keberaniannya untuk menuntut atau tidak. Pada titik inilah, pentingnya sebuah organisasi seperti serikat buruh. Perlunya membangun solidaritas, agar posisinya, setidak-tidaknya sedikit seimbang dengan pengusaha.

Tentu saja, dalam hal ini, diperlukan peran negara. Tidak boleh buruh (sebagai individu) dan pengusaha dibiarkan bertarung sendiri. Negara harus hadir. Bukan sebagai wasit, tetapi berpihak pada keadilan. Adapun cara yang bisa dilakukan adalah dengan memberikan jaminan sosial kepada mereka yang kehilangan pekerjaan. (*)