Skenario Memasukkan Gerakan Buruh ke Dalam Kandang

Tuntutan KSPI terkait upah minimum 2018 sebesar 50 dollar. Sementara tahun 2019, KSPI hanya menuntut 20 - 25 persen.

Jakarta, KPonline – Terkait dengan penetapan upah minimum tahun 2018, Menteri Ketenagakerjaan sudah mengeluarkan surat edaran tertanggal 13 Oktober 2017. Intinya, kenaikan upah minimum tahun depan adalah sebesar 8,71 persen.

Angka sebesar itu didapat dari nilai inflansi tahun ini sebesar 3,72 dan pertumbuhan ekonomi (PDB) sebesar 4,99. Berdasarkan formula kenaikan upah minimum yang diatur dalam PP 78/2015 yang mengatur formula kenaikan upah minimum adalah inflansi plus pertumbuhan ekonomi, maka kenaikan upah sebesar 8,71 persen.

Surat edaran itu sekaligus menegaskan, fungsi Dewan Pengupahan dalam menetapkan upah minimun sudah tidak ada lagi. Toh rumus sudah ditetapkan. Nilai inflansi dan pertumbuhan ekonomi sudah disiapkan.

Apalah guna dibentuk satu lembaga yang terdiri dari unsur tripartit, kalau penetapan upah ditentukan sepihak: pemerintah.

Perjuangan kaum buruh untuk menuntut upah layak juga nyaris tak berhenti. Salah satunya adalah aksi besar-besaran yang dilakukan di berbagai kota, Sabtu tnggal 7 Oktober 2017.

Dalam aksi yang diselenggarakan bertepatan dengan hari kerja layak internasional tersebut, KSPI juga melakukan kampanye kenaikan upah + 50 Aksi ini sekaligus untuk menegaskan, bahwa kaum buruh menghendaki penetapan upah minimum 2018 tidak lagi menggunakan PP 78/2015. Lebih tegas lagi, upah layak hanya bisa diwujudkan PP 78/2015 dicabut.

Gelombang PHK massal yang saat ini terjadi, salah satunya adalah akibat dari upah yang rendah, sehingga menyebabkan turunnya daya beli. Upah layak akan meningkatkan daya beli, yang pada gilirannya akan memberikan sumbangan positif pada pertumbuhan ekonomi.

Terapi aksi buruh pada tanggal 7 Oktober 2017 dijawab dengan Konsolidasi Nasional Dewan Pengupahan Nasional se-Indonesia yang diselenggarakan pada tanggal 11 – 14 Oktober 2017 Kementerian Ketenagakerjaan. Dalam kesempatan ini, Menaker dalam sambutan yang dibacakan oleh Dirjen PHI dan Jamsos Haiyani Rumondang mengatakan, kebijakan pengupahan terkait dengan penetapan upah di perusahaan harus dilaksanakan sesuai penetapan upah minimum dan penetapan upah berdasarkan struktur dan skala upah.

Hal itu ditujukan untuk menciptakan keadilan internal dan eksternal di perusahaan serta secara bersamaan menjadi alat bantu perusahaan dalam mencapai visi dan misinya. Pemerintah, kata Hanif, telah menjamin pengupahan para pekerja melalui PP 78 Tahun 2015 yang mewajibkan pengusaha untuk menyusun dan menerapkan struktur dan skala upah paling lambat pada tanggal 23 Oktober 2017. (kompas.com, 12 Oktober 2017).

Terkait dengan struktur dan skala upah, Wakil Ketua Dewan Pengupahan Nasional, Bob Azzam meminta pemerintah jangan terlalu keras terhadap perusahaan yang belum bisa menerapkan aturan tersebut. Pasalnya, mayoritas perusahaan di Indonesia masih butuh bimbingan dalam penerapannya. Bob mengungkapkan, 60 persen dunia usaha Indonesia ada di sektor informal dan 40 persen di formal. Dari yang formal, yang well manage hanya 20 persen, sedangkan industri besarnya hanya 1 persen. (liputan6.com, 12 Oktober 2017).

Jika kita cermati pemberitaan di berbagai media, saat ini sedang gencar dikampanyekan struktur dan skala upah, baik oleh pemerintah dan kalangan pengusaha. Hal ini terlihat dari berbagai pemberitaan: “Kemenaker: Perusahaan Wajib Susun Struktur dan Skala Upah” (Republika, 15/10/2017); “Kemnaker : Pengusaha Wajib Susun dan Terapkan Struktur dan Skala Upah” (Okezone, 12/10/2017); “Permen Ketenagakerjaan Mewajibkan Pengusaha Segera Susun Skala Upah” (rmol, 14/10/2017), dan “Pengusaha wajib terapkan struktur dan skala upah, paling lambat 23 Oktober 2017” (elshinta, 12/10/2017).

Struktur dan skala upah, secara tidak langsung mendorong agar perjuangan upah yang selama ini secara masif dilakukan di ranah publik menjadi diskusi di tingkat pabrik. Tidak apa-apa upah minimum rendah, toh di tingkat pabrik, ada penyusunan skala da struktur upah. Ini argumentasi yang sedang mereka bangun.

Kita tidak menisbikan keberadaan struktur dan skala upah. Tetapi kita juga tidak mau masuk perangkap. Hingga kemudian gerakan buruh menjadi seperti masuk kandang. Sekedar menjadi gerakan di tingkat pabrik yang tidak peka terhadap isu publik.

Padahal, upah adalah isu publik. Ia terkait erat dengan peningkatan daya beli dan pertumbuhan ekonomi.

Terlebih lagi, secara bersamaan, Komite III DPD RI juga sedang gencar melakukan uji sahih UU sistem Pengupahan. Alasan implementasi peraturan perundangan pengupahan belum menciptakan iklim yang kondusif dan seimbang antar stakeholders yaitu pekerja, pemberi kerja dan pemerintah. Disebutkan, sampai saat ini masih terdapat persoalan di daerah berkaitan tuntutan pekerja yang disertai aksi demonstrasi.

Persoalan pengupahan di daerah lainnya yaitu : daya tawar tenaga kerja yang tidak berimbang dengan lapangan pekerjaan, mutu tenaga kerja yang rendah, ketidaksesuaian upah dengan standar Kebutuhan Hidup Layak, upah minimum daerah, revisi PP Nomor 78 tahun 2015, pengawasan tenaga kerja asing, tantangan teknologi digital terutama pekerja online/daring, tuntutan produktivitas, dan daya saing perusahaan.

Lagi-lahi, hal ini secara tidak langsung memposisikan buruh sebagai pihak yang dipermasalahkan. Terseb selalu saja melakukan demonstrasi untuk mendesakkan tuntutan.