Setya Novanto, Sudahlah…

Jakarta, KPonline – Saya heran dengan sikap Setya Novanto yang bersikukuh untuk tetap menjabat sebagai Ketua DPR RI. Padahal, KPK sudah menetapkan dirinya sebagai tersangka pada kasus dugaan korupsi e-KTP.

Bisa saja Setya Novanto mengatakan, tersangka belum tentu bersalah. Tetapi satu hal yang harus dipahami, bahwa keputusan KPK menjadikan dirinya sebagai tersangka, pasti karena ada bukti permulaan yang cukup. Oleh karena itu, sebaiknya Setya Novanto fokus pada kasus yang dihadapinya.

Bacaan Lainnya

Menjadi Ketua DPR, sementara di satu sisi sebagai tersangka kasus yang tak bisa dianggap enteng, kinerja Setya Novanto tak bakal maksimal.

Dalam hal ini saya ingat, Indo Barometer dan Indikator Politik Indonesia pernah merilis survei, bahwa dalam setahun terakhir DPR merupakan lembaga negara yang tak dipercayai publik. Ditengah upaya DPR dalam upaya memperbaiki citra mereka, ketuanya sebagai tersangka.

Sebagai Ketua DPR, Setya Novanto mustinya bisa menjadi teladan. Wajar jika kemudian ada kecurigaan, keputusan untuk bertahan sebagai Ketua DPR adalah sebagai upaya untuk menghindarkan mereka dari persoalan hukum. Meminjam kalimat Arya Fernandes, “Kekuasaan dianggap sebagai cara memproteksi diri. Ketika berkuasa atau memegang jabatan politik tertentu, mereka punya pengaruh sehingga cenderung tetap bertahan jika tersangkut kasus pidana.”

Mundur dari Ketua DPR, sebenarnya sudah pernah dilakuka oleh Setya Novanto pada Desember 2015. Saat itu, dia meletakkan jabatan Ketua DPR setelah rekaman pembicaraannya dengan Direktur PT Freeport Indonesia kala itu Maroef Sjamsoeddin, mengidikasikan dia meminta saham Freeport dengan mencatut presiden dan wakil presiden.

Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) menyatakan Setya melakukan pelanggaran etika ‘sedang hingga berat’ namun tidak sampai mengambil keputusan karena Setya Novanto sudah lebih dulu menyampaikan pengunduran diri.

Namun mengapa kali ini Setya Novanto tidak melakukan hal yang sama?

Setya Novanto mestinya bisa mencontoh Ketua Parlemen Singapura, Michael Palmer, yang mundur akibat kasus perselingkuhan, tahun 2012 yang lalu. Pada tahun yang sama, Ketua Parlemen Korea Selatan, Park Hee-tae, yang meletakkan jabatan karena tersangkut kasus suap. Tahun  2016, Wakil Ketua Parlemen Prancis, Denis Baupin, mundur karena perkara pelecahan seksual sedangkan Perdana Menteri Islandia, Sigmundur Gunnlaugsson, juga mengundurkan diri tahun lalu karena namanya masuk dalam daftar Panama Papers, dokumen yang mengungkapkan orang-orang yang memiliki rekening di luar negeri untuk menghindari pajak.

Oleh karena itu, saya setuju ketika Indonesia Corruption Watch (ICW) jaringan antikorupsi di 15 provinsi mendesak Setya Novanto mundur dari jabatannya sebagai Ketua DPR. Langkah ini diambil untuk menghormati marwah DPR. Sudah sepantasnya DPR selayaknya dipimpin oleh orang yang tidak kontroversial dan bermasalah hukum.

Setya Novanto, sudahlah…. Letakkan jabatan Ketua DPR, toh anda masih bisa tetap menjabat sebagai Ketua Umum Partai Golkar. Sebagi ketua partai, kami tak akan mencampuri terlalu dalam, karena itu urusan internal partai anda.

Tetapi sebagai Ketua DPR, sebagai rakyat, rasanya ada yang hambar jika lembaga terhormat ini dipimpin seorang Tersangka.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *