Ringkasan Diskusi Publik Bersama Rizal Ramli: Penurunan Daya Beli, PHK Massal, dan Solusinya

Jakarta, KPonline – Jika mengamati fenomena elit pemerintahan saat ini, dapat diibaratkan mereka adalah Pandawa yang sedang berjudi dengan Kurawa. Semakin malam, semakin tinggi taruhannya. Bahkan, Yudhistira sampai menjadikan istrinya sebagai taruhannya. Karena kalah, istri Yudhistira pun jatuh ke tangan Kurawa. Karena sudah terbawa ego permainan, Pandawa pun menjadikan kerajaan Astina sebagai taruhannya, dan tetap kalah oleh Kurawa. Akhirnya, kerajaan Astina jatuh ke tangan Kurawa.

Perjudian pertama yang dilakukan oleh pemerintah adalah membela Ahok habis-habisan. Sampai-sampai, pemerintah mendiskreditkan sebagian umat Islam demi membela Ahok. Dampak buruk dari keberpihakan pemerintah ini adalah menimbulkan konflik horizontal di masyarakat. Keberpihakan pemerintah terhadap Ahok mengorbankan solidaritas sosial menjadi ketegangan sosial di lapisan masyarakat.

Kita tidak sepakat terhadap Ahok sebagai pemimpin bukan karena dia minoritas. Kita terbuka dengan setiap warga negara menjadi pemimpin. Akan tetapi, jangan seperti Ahok yang kebijakannya menindas. Analoginya seperti AS waktu memilih Kennedy. Kennedy adalah sosok minoritas di domain konservativisme AS. Akan tetapi karena dia bagus, rakyat AS memilih dia sebagai pemimpin. Artinya, kita terbuka terhadap minoritas akan tetapi jangan yang menindas.

Perjudian kedua yang dilakukan oleh pemerintah adalah meninggalkan Nawacita dan memilih neoliberalisme sebagai garis kebijakan ekonomi. Pada prinsipnya, neoliberalisme menyerahkan kegiatan ekonomi kepada mekanisme pasar. Dengan kondisi ketimpangan yang ada, dampaknya adalah yang memiliki kapital kuat akan semakin kuat. Sebaliknya, yang miskin makin miskin.

Pemberian cinderamata dari KSPI untuk Rizal Ramli.

Tahun 2016, direksi PLN ikut rapat bersama presiden. Ketika itu, mereka meminta cabut subsidi pelanggan listrik 450 VA dan 900 VA. Landasan argumen mereka adalah pelanggan daya tersebut bukan termasuk kategori orang miskin. Saat itu juga saya interupsi argumen mereka, saya katakan bahwa data mereka itu pasti keliru. Di data statistik, pelanggan 900 VA ini masuk kategori near poor (hampir miskin). Saya mengajukan solusi lain guna melakukan penghematan. Semestinya PLN mengusahakan pengurangan transmission lost dari 9% ke 6%. Perhitungan saya, jika hal tersebut dilakukan, kita akan hemat Rp 6,2 triliun. Di negara-negara lain, paling banter transmission lost hanya 3%. Di samping itu, PLN sebagai pembeli batu bara terbesar di Indonesia, mereka harus diberikan diskon. Lalu selanjutnya menurunkan biaya mark-up 10%, kita akan hemat Rp 40 triliun. Jika ditotal, kita akan hemat anggaran sangat banyak. Itu solusi saya, dan presiden setuju. Oleh karenanya pada tahun 2016 subsidi listrik tidak dicabut.

Isu selanjutnya pada tahun 2016 adalah, nasabah perbankan dengan akun Rp 200 juta akan dikenakan pajak. Saya tidak setuju, karena banyak UMKM memiliki akun diatas angka tersebut. Jika akunnya dikenakan pajak, akan memberatkan. Usul saya adalah akun perbankan dengan angka Rp 2 miliar, karena angka ini pasti hanya dimiliki oleh orang-orang kaya. Setelah didiskusikan, akhirnya akun perbankan dengan saldo Rp 1 miliar yang dikenakan pajak.

Pemburuan pajak oleh pemerintah tahun 2016 juga ingin menyasar petani tebu. Bagi saya hal tersebut adalah rencana gila. Jika ingin memburu pajak di industri gula, yang harus dikejar adalah kartel gula, bukannya petani tebu.

Belakangan ini pemerintah menurunkan PTKP ke angka UMP. Bagi saya ini tidak masuk akal. Seharusnya batas PTKP dinaikkan. Sehingga masyarakat dengan penghasilan dibawah Rp 4,5 juta perbulan punya uang lebih banyak dan mampu mengkonsumsi lebih banyak. Dengan demikian ekonomi akan tumbuh. Penurunan batas PTKP ini bagi saya buruk untuk Jokowi, ratingnya bisa turun. Kalau di negara maju, orang-orang kecil tidak diuber-uber pajak. Mereka akan dikejar pajak jika berhasil melakuakan mobilitas vertikal secara ekonomi dengan indikator situasi ekonomi membaik.

Foto bersama peserta

Pemerintah sangat ambisius membangun infrastruktur sehingga belanja infrastruktur kita sangat besar. Al hasil anggaran defisit. Untuk menutupi defisit anggaran, hutang ditempuh. Ini menjadi parah bagi anggaran kita, kita menjadi terjebak pada pola ‘gali lubang, tutup lubang’, kita ngutang untuk bayar hutang, ditambah rakyat nombokin. Jadi kalau dilihat, seakan-akan tuannya negara ini adalah kreditor. Kreditor sangat senang dengan Indonesia, bunga dan hutang selalu terbayar. Namun bagi rakyat, pemotongan subsidi menjadi berat.

Kalau begini terus, saya prediksi perekonomian Indonesia dua tahun kedepan akan terus memburuk. Demikian terjadi karena obatnya salah. Pemotongan subsidi dan pemburuan pajak ke orang-orang kecil adalah obat yang salah untuk perbaikan ekonomi. Di sisi lain, saya juga keberatan dengan naiknya PBB secara gradual. Dampaknya, banyak sekali buruh-buruh yang sudah pensiun tidak mampu bayar PBB. Fenomena yang terjadi bagi pensiunan di perkotaan adalah, karena tidak mampu bayar PBB, mereka menjual rumahnya di kota dan pindah ke pinggiran kota dengan biaya hidup yang lebih murah.

Ada beberapa solusi yang dapat ditempuh guna meningkatkan kembali perekonomian nasional, berikut:

1. Untuk pemburuan pajak, alangkah baiknya jika sasaran ditujukan kepada top 1% population.

2. Pemerintah harus kreatif dalam hal pembayaran hutang. Contohnya, 16 tahun lalu Jerman kritik Indonesia tentang rusaknya lingkungan hidup. Saat itu saya komplain ke Jerman, saya ajukan ke Jerman skema debt to nature, pemotongan bunga hutang untuk konservasi lingkungan, akhirnya Jerman setuju. Saya rasa saat ini pun momen yang tepat bagi Indonesia ke Uni Eropa, karena isu lingkungan menjadi perhatian Uni Eropa saat ini. Pemerintah perlu menyiapkan bahan untuk negosiasi ke Uni Eropa tentang debt to nature ini. Jika negosiasi berhasil, dampaknya luar biasa: hutang berkurang, di sisi lain lingkungan makin lestari.

3. Debt Swap, hutang baru untuk bayar hutang, namun hutang baru tersebut bunganya lebih rendah dari hutang sebelumnya. Pilah-pilih kreditor, negosiasi.

Sebenarnya kalau kita kreatif, banyak cara untuk mengurangi hutang. Akan tetapi menjadi beda jika kita menghamba kepada kreditor, ya perekonomian begini jadinya. Oleh karenanya, pemerintah harus kita kritik terus, dalam rangka membangun, siapapun pengambil kebijakannya. Kalau kita terus terjebak pada neoliberalisme, kita hanya fokus pada pembayaran hutang. Di sisi lain, penurunan daya beli akan terus berlanjut. Penurunan daya beli ini menjadi ancaman bagi para produsen. Begitu juga kepada buruh, ancaaman PHK massal bisa datang tiba-tiba.

4. Revaluasi aset BUMN. Selain pendapatan negara semakin besar, BUMN akan semakin produktif.

5. Pompa rakyat dengan daya beli. Banyak cara yang dapat ditempuh guna memompa daya beli rakat. Selain subsidi BBM dan TDL, pembasmian kartel pangan krusial dilakukan. Dalam hal impor pangan, sistem kartel harus diganti dengan sistem kuota. Kalau ini terjadi, saya optimis harga-harga pangan akan turun sampai 80%. Secara tidak langsung, dengan membasmi kartel pangan, pemerintah memompa daya beli masyarakat karena harga pangan akan murah.

6. Pompa Kredit Usaha Rakyat (KUR). KUR harus berorientasi pada memacu pengembangan UMKM.

7. Kebijakan Inovatif. Kebijakan inovatif ini berbagai macam, saya beri satu contoh. 3 tahun pasca krisis moneter, penumpang pesawat turun 60%. Saya meminta kepada perusahaan maskapai negara yang pasarnya oligopoli untuk menurunkan harga tiket, akan tetapi mereka menolak. Oleh karena itu saya beri izin kepada maskapai-maskapai baru untuk beroperasi di Indonesia. Mereka menjual tiket lebih murah dari perusahaan maskapai negara. Akhirnya, ada persaingan pasar yang menjurus pada keseimbangan harga di bisnis penerbangan. Dampaknya adalah perusahaan maskapai semakin kompetitif dalam hal kualitas pelayanan. Di sisi lain, semakin banyak masyarakat yang dapat mengakses transportasi penerbangan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *