PTKP Akan Diubah, Said Iqbal: Setelah Orang Kaya Diberi Tax Amnesty, Kini Orang Kecil Dikejar-kejar

Jakarta, KPonline – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati baru-baru ini menginstruksikan Direktorat Jenderal Pajak untuk menggali potensi untuk meningkatkan rasio penerimaan pajak atau tax ratio terhadap produk domestik bruto (PDB), salah satunya mengubah batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

Hal ini dilakukan, lantaran Indonesia memiliki komponen tax rasio yang cukup berbeda dengan negara lain. Ia ingin pemerintah dan otoritas pajak mengkaji apakah PTKP merupakan salah satu penyebab basis pajak Indonesia berbeda dengan negara-negara lain yang memiliki tax ratio lebih tinggi.

Bacaan Lainnya

“Jadi saya sudah minta kepada DJP untuk melakukan penelitian apa saja yang masuk dalam komponen tax ratio. Yang kedua, karena kita ingin tax ratio comparable dengan negara lain, kita harus lihat kenapa Indonesia berbeda,” ujar Sri Mulyani, Rabu (19/7/2017).

Indonesia sendiri sebelumnya telah mengubah batas PTKP sebanyak dua kali dalam kurun waktu lima tahun terakhir yakni tahun 2013 dan 2016. Teranyar, pada tahun 2015 PTKP 2016 naik sebesar 50 persen dibandingkan dengan PTKP 2015. Jika pada PTKP tahun 2015 untuk pegawai dengan status TK/0 PTKP-nya sebesar Rp 36 juta maka untuk tahun 2016 ini PTKP naik menjadi Rp 54 juta.

Menurut Sri Mulyani, batas PTKP Indonesia merupakan yang tertinggi di Asean, meskipun pendapatan per kapitanya lebih rendah jika dibandingkan Thailand, Vietnam, Malaysia bahkan Singapura sekalipun.

Senada dengan Sri Mulyani, Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi mengusulkan batas PTKP menjadi setara dengan batas Upah Minimum Provinsi (UMP) atau Upah Minimum Regional (UMR) suatu daerah agar penerimaan pajak kian meningkat. Pasalnya, menurut Ken, batas PTKP yang dipukul rata saat ini tak sejalan dengan realisasi di lapangan, di mana setiap daerah memiliki batas UMP/UMR sendiri. Alhasil, ada beberapa daerah yang upah pekerjanya di bawah PTKP dan tak bisa ditarik pajak oleh pemerintah.

Pemerintah menargetkan tax ratio Indonesia bisa mencapai 16 persen pada tahun 2019. Namun realisasi tax ratio pada 2015 dan 2016 masing-masing hanya 10,7 persen dan 10,3 persen.

Orang Kaya Diampuni, Rakyat Kecil Dibebani

Sementara itu, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mempertanyakan kebijakan tax amnesty yang pernah diklaim pemerintah berhasil.

“Orang kaya dikasih ampunan melalui tax amnesty. Tetapi setelah terbukti tax amnesty tidak bisa meningkatkan pajak, kini rakyat kecil yang dikejar-kerja pajak. Pemerintah sudah kalap,” kata Said Iqbal.

Menurut Said Iqbal, jika PTKP diturunkan, maka daya beli kaum buruh akan semakin terpukul. Karena tidak ada kenaikan upah, padahal selama ini pendapatan mereka sudah tergerus oleh kenaikan listrik dan berbagai kebutuhan lain.

Senada dengan Said Iqbal, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara juga menuturkan, penurunan PTKP akan berdampak pada masyarakat, terutama pada kelompok menengah ke bawah. Terlebih, daya beli masyarakat kini tengah lesu.

“Meskipun tujuannya untuk mendorong penerimaan negara dan meningkatkan rasio pajak, tapi pelaksanaanya harus dikaji serius. Jangan sampai kebijakan perpajakan blunder bagi perekonomian,” ujar Bhima.

Perubahan kebijakan PTKP menurut dia, juga dikhawatirkan akan memengaruhi perilaku wajib pajak untuk melakukan penghindaran pajak atau tax avoidance jika PTKP terlalu rendah.

Bhima menjelaskan, PTKP di Indonesia sebesar Rp54 juta per tahun, memang tinggi jika dibandingkan dengan Malaysia yang setara Rp13 juta per tahun. Namun, berbeda dengan Malaysia maupun beberapa negara ASEAN lainnya, pekerja di Indonesia mayoritas bekerja di sektor informal.

“Malaysia sebagian besar penduduknya ada di sektor formal dengan pencatatan pajak penghasilan pribadi yang lebih tertib. Sementara di Indonesia, dominan bekerja di sektor informal,” terang dia.

Dia pun menyarankan Direktorat Jenderal Pajak untuk memperbaiki pendataan basis pajak dengan sosialisasi bagi wajib pajak sektor informal, ketimbang membuat batasan PTKP baru.

Sementara itu, Ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Pardede menjelaskan, penurunan PTKP membuat beban masyarakat meningkat. Pasalnya, pajak yang dibayarkan menjadi lebih besar sehingga pendapatan bersih (disposable income) masyarakat cenderung menurun.

“Penurunan disposable income ini berkorelasi secara positif dengan daya beli masyarakat,” ungkap dia.

Penurunan daya beli pada akhirnya dapat mempengaruhi tingkat konsumsi rumah tangga dan investasi dalam negeri yang juga merupakan basis penerimaan pajak.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *