PHK Karena Kesalahan Berat

Menuntut agar 309 buruh yang di PHK dipekerjakan kembali.

Jakarta, KPonline – Dalam UU No. 13 Tahun 2003, frasa “kesalahan berat” hanya kita temui berkaitan dengan Pasal 158.

Disebutkan, bahwa “Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja dengan alasan pekerja telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut: (a) melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan; (b) memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan; (c) mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja; (d) melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja; (e) menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja; (f) membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; (g) dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan; (h) dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja; (i) membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau (j) melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

Bacaan Lainnya

Kesalahan berat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus didukung dengan bukti sebagai berikut: (a) pekerja tertangkap tangan; (b) ada pengakuan dari pekerja yang bersangkutan; atau (c) bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.

Pengertian dari “kesalahan berat” sendiri tidak dijelaskan dalam UU No. 13 Tahun 2003. Dengan demikian, kualifikasi kesalahan berat hanya terbatas pada yang diatur dalam Pasal 158 Ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003. Dengan kata lain, tidak diperbolehkan ada pelanggaran lain yang dikualifikasikan sebagai kesalahan berat. Misalnya, merokok di dalam lokasi kerja bukanlah kesalahan berat dan bisa langsung di PHK.

Namun demikian, ketentuan Pasal 158 UU No. 13 Tahun 2003 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, serta melanggar azas praduga tidak bersalah (preassumption of innocence). Hal ini ditegaskan oleh Mahkamah Konsitusi (MK) dalam putusan No.012/PUU-I/2003, tertanggal 28 Oktober 2004, yang amar putusannya pada pokoknya menyatakan ketentuan Pasal 158 UU No. 13 Tahun 2003 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

Itu artinya, Pasal 158 UU No. 13 Tahun 2003 tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk melakukan PHK.

Bagaimana kalau ketentuan Pasal 158 UU No. 13 Tahun 2003 sudah dimasukkan kedalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau peraturan kerja bersama? Jika terjadi demikian, maka ketentuan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama yang memuat ketentuan PHK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 UU No. 13 Tahun 2003 juga tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Hal ini karena, ketentuan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama tidak boleh bertentangan dengan undang-undang.

Sejalan dengan itu, Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Nomor: SE.13/MEN/SJ-HK/I/2005 Tertanggal 7 Januari 2005 tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Atas Hak Uji Materil UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Undang-undang Dasasar Republik Indonesia Tahun 1945 menjelaskan Sebagai Berikut:

Sehubungan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PPU-1/2003 tanggal 28 Oktober 2004 Tentang Hak Uji Materiil UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan telah dimuat dalam Berita Negara Nomor 92 Tahun 2004 tanggal 17 Nopember 2004, maka untuk memberikan kejelasan bagi masyarakan, dipandang perlu menerbitkan Surat Edaran sebagai berikut:

1. Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Undang-undan Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, khusus Pasal 158 ;Pasal 159 ; Pasal 160 ayat (1) sepanjang mengenal anak kalimat “….bukan atas pengaduan pengusaha “;Pasal 170 sepanjang mengenai anak kalimat “…Pasal 158 ayat (1) …”; Pasal 171 sepanjang menyangkut anak kalimat ….Pasal 158 ayat (1) … ” Pasal 186 sepanjang mengenai anak kalimat “…Pasal 137 dan Pasal 138 ayat (1) …. ” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.,

2. Sehubungan dengan hal resebut butir 1 maka Pasal-pasal UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dianggap tidak pernah ada dan tidak dapat digunakan lagi sebagai dasar / acuan dalam penyelesaian hubungan industrial.

3. Sehubungan dengan hal tersebut butir 1 dan 2 di atas, maka penyelesaian kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) karena pekerja melakukan kesalahan berat perlu memperhatikan hal – hal sebagai berikut : a. Pengusaha yang akan melakukan PHK dengan alasan pekerja melakukan kesalahan berat ( eks Pasal 158 ayat (1), maka PHK dapat dilakukan setelah ada putusan hakim pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap b. Apabila pekerja ditahan oleh pihak yang berwajib dan pekerja/ buruh tidak dapat melaksanakan pekerjaan sebagaimana mestinya maka berlaku ketentuan Pasal 160 Undang – undang Nomor 13 Tahun 2003.

4. Dalam hal terdapat “alasan mendesak” yang mengakibatkan tidak memungkinkan hubungan kerja dilanjutkan, maka pengusaha dapat menempuh upaya penyelesaian melalui lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Pos terkait