Perempuan Berbandana Merah

Ia nampak anggun dengan kacamata hitam, kulit wajahnya yang putih tampak kemerahan di bakar oleh matahari Batam yang terkenal ganas itu. Sesekali ia menyeka keringat yang mulai mengalir di antara hidung dan bibir mungilnya. Beberapa kali pandangan mata kami bertemu dan nampaknya ia mulai kesal denganku.

“ Eh sini kamu”, ia yang berbandana merah itu memanggilku.
“Aku?”, Jawabku pura-pura tidak mengerti dengan ucapannya.
“Iya!! Cepetan”. Ujarnya setengah berteriak.
“Ada apa?”. Tanyaku ketika berada di depannya.

Bacaan Lainnya

Ia segera melepaskan kacamata hitamnya, jantungku langsung berdetak lebih kencang melihat bola matanya yang bersih berbinar, lentik bulu matanya sangat sempurna dengan barisan alis yang polos tanpa polesan pensil.
“ Kenapa dari tadi kamu terus memfotoku?,ngga ada kerjaan ya?” rupanya ia mulai tidak senang dengan apa yang ku lakukan selama ini.
“Kamu wartawan ya?”
“Wartawan dari mana?” belum sempat ku jawab pertanyaannya , ia sudah mulai memberondongku dengan pertanyaan lain.

“ Maaf, saya bukan wartawan, cuma hobby photografi saja.” Jawabku malu-malu.
Dia bertambah marah begitu mengetahui bahwa aku bukanlah wartawan seperti para juru potret yang berderat di sepanjang jalan untuk mengabadikan momen demo buruh kali ini.

“ Awas kamu ya, sudah sana pergi!!” Ia marah kepadaku tapi dengan suara yang lembut, aku sendiripun bingung menerjemahkannya. Sejenak ia kembali membetulkan letak kacamatanya sebelum akhirnya berlari berkumpul dengan rombongan buruh lain. Dengan sedikit keraguan ku coba untuk mencuri tahu kemana ia pergi.

 

Ia berdiri di barisan paling depan mengenakan seragam merah hitam, memakai bandana merah dan berkacamata hitam. Sepasang sepatu boot seperti hendak menyembunyikan dirinya dari gangguan para penggoda wanita. Seorang laki-laki kekar dengan seragam yang sama tiba-tiba berteriak lantang dan seketika suasanya menjadi hening.

“Kawan-kawan, hari ini kita akan buktikan bahwa kita sebagai buruh masih akan terus berjuang agar PP78 segera di cabut oleh pemerintah”. Laki-laki yang aku tahu bernama Suprapto itu membakar semangat ratusan buruh yang berkumpul di situ.

“PP 78 harus dicabut karena bertentangan dengan UU ketenagakerjaan. PP 78 tahun 2015 juga menyengsarakan kehidupan buruh,” kata Suprapto melalui pengeras suara
“ Hari ini kita akan kembali menggeruduk kantor walikota Batam, kita akan buktikan bahwa kita sangat serius menolak pp78,Setuju!!”

“Setuju!!”Ratusan buruh yang berkumpul di depan Panbil mall itu kemudian beranjak menuju kantor walikota Batam yang berjarak kurang lebih setengah jam perjalanan.
Kali ini aku merekam momen dengan kamera ponsel, ku sapu seluruh peserta aksi sambil mencari perempuan berbandana merah tadi. Bingo!! Dapat juga akhirnya, di dalam layar ponsel sonyku ia terekam sedang berbincang dengan temannya, seorang laki-laki yang juga mengenakan seragam yang sama. Melihat mereka berdua sangat akrab, entah mengapa aku merasa sakit. Meski hanya dari balik lensa ponselku, aku selalu mencuri-curi kesempatan, untuk mencari, dan mengambil setiap momen yang paling berharga buatku, buat dunia dan buat dirimu. Terkadang sering diusir orang, karena dianggap pengganggu seperti yang kamu lakukan. Dan kali ini sengaja kamu biarkan aku, karena hanya dianggap sebagai lalat kecil yang tidak mengganggu. Ah biarlah ..Pikirku.

Di depan kantor walikota Batam ratusan massa yang lain juga tengah menunggu rombongan ini, mereka berorasi bergantian di tengah terik matahari yang membakar tubuh mereka.lagu-lagu dari iwan fals sesekali mereka perdengarkan dan di nyanyikan bersama oleh ribuan buruh yang terus berdatangan. Semakin siang jumlah mereka semakin banyak, polisi yang berjagapun mulai di tambah personelnya. Siang yang terik membuatku mencari pedagang asongan untuk membeli sesuatu yang bisa menyegarkan tenggorokanku.
Belum beberapa langkah berjalan seseorang memanggilku dari belakang.

 

“ Hei, bung !! Serunya memanggil namaku. Aku segera menoleh ke belakang dan melihat perempuan berbandana merah tadi memhampiriku.
“ Ini, mau!! Tanyanya sambil menyerahkan sebotol minuman mineral dingin.
“ Iya, terima kasih”. Jawabku sambil menerima botol minuman itu.
“ Dari PUK mana bung?” tanyanya lagi
“Mukakuning” jawabku sambil membuka botol minuman.
“Kalau kamu?” Aku balik bertanya
“Infineon” Jawabnya singkat.

Kamipun memutuskan untuk berteduh di bawah pohon sambil duduk di bawahnya. Dari bibir mungilnya ia bercerita bahwa dia menjadi anggota garda metal belum cukup sebulan ini. Sebelumnya ia hanya anggota biasa. Ia banyak bercerita tentang latihan dasar menjadi anggota garda metal. Ia merasa bangga dan terhormat menjadi bagian dari keluarga besar garda metal.

“Baru kali ini saya mengikuti pendidikan seperti ini bung, capek banget, tapi rasa lelah yang didapat dari pendidikan ini terbayar dengan semangat kebersamaan dan semangat perjuangan dari teman-teman, tak ada rasa marah kepada panitia ataupun kapok, yang ada justru makin semangat untuk berjuang bersama.” Ungkapnya., dan sejauh ini aku belum berani menanyakan siapa namanya.

“Sekarang saya mengerti apa yang dinamakan dengan solidaritas, tanggung jawab, dan kebersamaan”,sambungnya dengan penuh kebanggaan. Selebihnya kami juga membahas tentang apa yang kami perjuangkan sekarang ini dan juga tentang pandangan miring sebagian kecil orang terhadap aksi-aksi yang buruh lakukan. Aku tidak menyangka ternyata dia juga seorang yang cerdas.

“Sudah ya, aku mau ke depan dulu, jangan lupa photo aku nanti!! Ia berdiri dan hendak beranjak.
“Beneran nich, ngga marah lagi?” Tanyaku balik.
“Iya serius!! Katanya lalu berlari ke depan mobil komando.

Mataku mengikuti kemana langkahnya pergi, takut kehilangan jejaknya. Setelah tahu posisinya di mana segera ku ambil posisi yang tepat untuk mengambil gambarnya. Dan jepret, jepret!! Sudah puluhan gambar dirinya masuk dalam memory kameraku. Ia rupanya tahu apa yang kulakukan dan sesekali nampak tersenyum dan mengacungkan tangannya ketika kameraku mengarah kepadanya

 

Sore mulai datang, tapi panas matahari sepertinya belum mulai mereda. Sang orator di atas mobil komando sudah mulai kecewa karena aksi hari ini yang tidak membuahkan hasil. Lobi-lobi dengan pihak kepolisian sepertinya juga sudah buntu. Ribuan massa buruh sudah menunggu dengan putus asa. Mereka merasa seperti di permainkan oleh pemerintah. Suprapto bergegas naik ke atas mobil komando lagi. Kali ini suaranya terdengar parau, sebotol air jeruk yang ia minum tadi sepertinya tidak mampu mendinginkan pita suaranya. Sejak tadi pagi ia silih berganti memberikan orasi membakar semangat para buruh di bawahnya agar terus semangat memperjuangkan tuntutan mereka. Dia berusaha meyakinkan buruh untuk tetap mendengarkan setiap intruksinya dan tidak terprovokasi oleh perintah polisi melalui pengeras suara, yang menyuruh agar aksi segera di sudahi.

“Saya katakan, duduk semua. Duduk!!” Ia memberi perintah kepada puluhan anggota garda metal yang sudah mulai emosi dan ingin merangsek ke depan.
Sejenak aku melirik jam di ponselku. Pukul 17.07 WIB. Sudah lewat waktunya. Sejumlah perwira polisi sudah tak sabar untuk membubarkan massa aksi. Puluhan anggota pasukan anti huru-hara segera merangsek ke depan sambil memukulkan tongkatnya ke tameng. Menimbulkan bunyi yang riuh sekali.

Sejumlah buruh perempuan memilih untuk mundur ke belakang dan di ganti oleh buruh laki-laki berseragam kerja khas galangan kapal dengan sepatu boot dan helm safety. Mereka seolah siap untuk berhadapan langsung dengan aparat kepolisian yang juga sudah tak sabar ingin menggebuk.

Suasana berubah menjadi tegang. Aku yang sibuk mengabadikan momen ini terpancing emosi. Sedemikian susah dan beratnya perjuangan ini. Perjuangan kaum buruh untuk memperoleh sedikit kelayakan untuk menghidupi anak istrinya. Perjuangan untuk membuka mata para pengambil kebijakan yang sombong dan congak. Perjuangan agar generasi buruh mendatang bisa lebih terjamin hidupnya. Perjuangan untuk menolak setiap bentuk dari tindakan kesewenangan.

Perjuangan agar pemerintah segera menurunkan harga beras, juga perjuangan melawan rakusnya kepentingan.
Sudah tulikah pemerintah sehingga tak ada seorangpun yang sudi menemui kami? Tenggorokanku tiba-tiba menjadi kelu menyaksikan pemandangan ini. Jiwaku berontak. Darahku bergemuruh melihat semangat kawan-kawanku.
Mereka tidak takut di PHK karena ikut aksi ini. Mereka tidak takut gajinya di potong karena ikut aksi ini. Mereka memilih untuk berpanas-panasan, sementara masih banyak yang memilih duduk manis di ruangan berAC dan ikut menikmati hasil dari perjuangan ini.

Banyak juga di antara kami sebenarnya yang sudah mempunyai kedudukan di perusahaan. Mereka bisa saja hanya duduk manis di tempat kerjanya sambil cengengesan dengan bos mereka, toh, tidak ada pengaruhnya sama sekali buat mereka jika perjuangan ini berhasil. Tapi mereka tidak ingin berpangku tangan saja melihat temannya berjuang, mereka ingin menjadi bagian dan saksi sejarah bahwa kesejahteraan buruh itu tidak turun sendirinya dari langit. Bahwa kesejahteraan itu harus di perjuangkan, dan bahwa perjuangan ini juga perlu pengorbanan.

Mata kamera dari tadi aku arahkan ke Pangkorda yang berdiri menantang matahari senja. Sejenak pandangan mata kami bertemu. Hanya beberapa detik. Kemudian dia kembali memalingkan wajahnya ke arah deretan mobil water canon dan puluhan polisi yang telah siaga di atas sepeda motornya.

Aku bisa merasakan apa yang kini tengah ia rasakan. Batinku tiba-tiba berontak, antara sedih, menjerit dan marah, entah pada siapa perasaan ini aku tujukan, aku tak tahu. Juga tak peduli.

“Baik kawan-kawan, kita akan sudahi aksi ini.” Akhirnya dia mengalah.
”Hari ini Walikota tidak mau menemui kita. Kita tidak tahu dia ada di mana sekarang. Tapi biasanya ketika kita sedang aksi di kantor Walikota, dia pergi ke Singapore, shopping atau tidur nyenyak di sana”.
“Besok kita akan datang lagi dengan jumlah yang lebih besar. Ajak semua rekan buruh yang hari ini memilih lembur daripada ikut aksi. Sekali lagi, ajak mereka semua. Setuju?”
Dengan gegap gempita, kami semua menjawab, setuju.
“Oke, sebelum pulang mari kita berdoa dulu. Semoga kita selamat sampai di rumah nanti. Berdoa,mulai….” Segera aku tundukkan kepala mengikuti intruksinya.

Setelah selesai berdoa, aku melirik beberapa polisi yang ada di sampingku. Oh, rupanya mereka juga ikut berdoa.
Buruh mulai membubarkan diri seiring dengan lantunan ayat suci dari toa masjid Raya. Dan seperti kembali di ingatkan, mataku mencari-cari perempuan berbandana merah tadi, aku hanya ingin tahu siapa namanya.

Ah, kenapa aku jadi bodoh begini, pikirku memaki diri sendiri, mencari dia diantara ribuan orang sepertinya akan sia-sia. Beberapa kali ku sapu pandanganku ke depan dan belakang tapi tak ku temukan dia. Sudahlah..pikirku sambil berharap semoga ia baik-baik saja

Pos terkait