Otomatisasi Gerbang Tol: Kegagapan Pemerintah Dalam Menyikapi Teknologi

Jakarta, KPonline – Teknologi dalam sejarahnya selalu memiliki peran penting dalam perkembangan zaman. Kekuatan teknologi juga mampu mengubah kebiasaan, budaya dan pola pikir masyarakat, sekaligus ia juga berdampak pada bidang ekonomi dan politik.

Tapi teknologi hanyalah sebuah alat, penggunaannya tergantung dari pelakunya, yaitu manusia. Dalam hal ini, pemerintah memiliki kuasa penuh atas penggunaan teknologi, menggunakan atau tidak menggunakan teknologi. Pemerintah harus bijaksana dalam menerapkan teknologi, jangan sampai penerapan teknologi mengabaikan fungsi dan tanggung jawab pemerintah terhadap rakyat. Beberapa Negara pernah bersikap anti-mainstream terhadap teknologi, contohnya Korea Utara dan Cina yang membatasi internet bagi warganya demi keamanan Negara.

Pemerintah tidak boleh gagap teknologi. Gagap teknologi di sini bukan diartikan pemerintah tidak melek teknologi, namun pemerintah tidak boleh latah dalam menerapkan teknologi. Pemerintah harus memastikan bahwa teknologi tersebut mampu memberikan solusi bagi permasalahan di masyarakat, jangan sampai malah menimbulkan masalah baru atau memperburuk masalah yang ada.

Penerapan otomatisasi gerbang tol adalah salah satu bentuk kegagapan pemerintah dalam menerapkan teknologi. Tujuan pemerintah menerapkan otomatisasi gerbang tol yang “hanya” untuk mengurangi kepadatan antrian gerbang tol dan menggalakkan gerakan nontunai (cashless) itu terlalu sepele jika dibandingkan dengan dampak yang ditimbulkan.

Walaupun Direktur Utama Jasa Marga menjanjikan tidak akan melakukan pengurangan tenaga kerja, tapi itu sangat tidak masuk akal. Apalagi Jasa Marga mengakui akan adanya perbedaan (pengurangan) kebutuhan tenaga kerja dan membuka peluang pensiun dini akibat dari penerapan otomatisasi gerbang tol. Dengan kondisi Indonesia yang mengalami surplus demografi dan berlimpah angkatan kerja sekaligus berlimpah pengangguran sangat tidak tepat menerapkan otomatisasi gerbang tol. Otomatisasi cocok diterapkan pada Negara yang sedikit jumlah penduduknya, atau sedikit jumlah penganggurannya.

Anggap saja janji pemerintah (Jasa Marga) untuk tidak melakukan PHK itu ditepati, dengan menempatkan petugas gerbang tol ke bagian lain, tapi tetap saja itu menghilangkan peluang pekerjaan bagi 7 juta pengangguran. Menurut data BPS, jumlah pengangguran pada Februari 2017 sebanyak 7,01 juta. Maka, jika setiap gardu tol tetap dilayani oleh pekerja itu akan mengurangi jumlah pengangguran di Indonesia. Itu belum termasuk dengan rencana penambahan lebih dari 600 kilometer jalan tol baru.

Sebagai pihak yang berkewajiban menyediakan pekerjaan dan penghasilan yang layak bagi warga negara, pemerintah harusnya berusaha keras menambah lapangan pekerjaan, bukan malah sebaliknya. Dan Pemerintah sebaiknya berpikir untuk menciptakan teknologi yang dapat mengurangi biaya kebutuhan pokok sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraan warga negara.

Penulis: Rakhmat Saleh, Wakil Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia), Bidang Pengupahan dan Jaminan Sosial.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *