Nyinyiran Kaum Buruh Yang Menolak Diri Disebut Buruh

Batam,Kponline – Setelah demo mereda, kaum nyinyir yang tak mau di sebut buruh kembali meluapkan amarahnya di berbagai tempat, mulai dari media sosial sampai bikin spanduk yang menjelekkan perjuangan buruh. Kita patut menduga bahwa hal tersebut tentu ada motif tertentu yang bisa jadi mereka di bayar oleh pengusaha-pengusaha hitam yang selama ini membayar upah buruhnya dengan sangat murah. Topik mengenai buruh di Indonesia tiap tahun begitu menghangat. Hal yang paling umum adalah upaya buruh untuk meminta kenaikan upah setiap tahun seiring melambungnya harga pangan dan segala kebutuhan yang pemerintah sendiripun tidak mampu mengatasinya.

Mengenai masalah upah, pergolakan yang terjadi juga melibatkan pekerja kantoran yang dianggap naif dan tak mengenal identitas mereka. Mereka dianggap sebagai golongan yang nyinyir kepada para pekerja pabrik yang mereka anggap pekerja rendahan, tetapi turut menikmati hasil tuntutan kaum buruh terhadap upah minimum.

Bacaan Lainnya

Padahal tak ada perbedaan status antara pekerja kantoran dengan buruh pabrik, karena upaha mereka sama-sama diatur oleh upah minimum yang terus diperjuangkan kesesuaiannya oleh kaum buruh.

Pada masa Reformasi, kaum buruh turut serta bagi rampungnya ketentuan jaminan sosial bagi para tenaga kerja yang terkodinir oleh Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS), melalui BPJS Ketenagakerjaan. Pada tahun 2010, sekitar 150.000 buruh buruh turun ke jalan menuntut dirampungkannya jaminan sosial tersebut.

BPJS merupakan amanat lanjutan dari Sistem Jaminan Sosial Nasional yang diteken Pemerintah pada 2004. Di belakang semua proses itu, ada aksi-aksi buruh yang terus menjaga gelombang perbaikan kesejahteraan.

Kita tentu tidak akan lupa hal ini. Di Indonesia sendiri, sejak zaman Orde Baru. Gerakan-gerakan buruh nyaris tidak mendapatkan tempat. Segala diskursus tentang isu-isu perburuhan dengan sendirinya dikomuniskan. Dituduh subversif. Tidak sedikitnya di antaranya direpresi oleh aparat dengan kekerasan.

Celakanya, represi dan intimidasi yang ada justru tidak membuat gerakan buruh menjadi mati. Ia timbul-tenggelam dipermukaan. Menyisakan kesadaran buruh di tingkat akar rumput semakin menguat seiring dengan semakin terjadinya pengenduran kondisi hidup yang terus mengenaskan. Intimidasi masa lalu melahirkan potensi radikalisasi perlawanan. Kekhawatiran-kekhawatiran pemerintah akan kebangkitan gerakan-gerakan buruh ini hingga akhirnya ‘memaksa’ presiden SBY pada tahun 2013 menandatangani keputusan; 1 Mei diliburkan! May Day (boleh) dirayakan!

Mereka golongan nyinyir seperti pekerja kantoran yang merasa terganggu karena kemacetan yang disebabkan oleh demonstrasi kaum buruh harusnya patut sadar. Bahwa cuti kerja, kenaikan penghasilan mereka setiap tahunnya semua adalah berkat aspirasi yang naik kepermukaan yang disuarakan oleh kaum buruh!

Sementara media dengan segenap kepentingannya yang tak berpihak pada buruh ikut berperan menciptakan persepsi buruk terhadp buruh. Tidak sedikit media-media borjuis, alih-alih mengangkat akar pokok persoalan atas demonstrasi buruh untuk mendudukan perkara sebenarnya, justru kebanyakan membuat kerangka berita-berita yang tak substansial, sekadar untuk menciptakan persepsi buruk terhadap gerakan buruh di kalangan masyarakat. Dengan framing bombastis, demonstrasi buruh selalu dituding sebagai aksi tak beradab dan segenap tuduhan-tuduhan moralitas lainnya. Anarkis, membuat macet, dan lain-lain. Mereka mengabaikan hal substansial untuk menjelaskan pokok substansi persoalan.

Begitupun politik penggembosan dengan menggunakan framing bahasa juga hampir tak pernah lepas dari upaya untuk memperlemah kekuatan buruh. Istilah-istilah seperti; karyawan, staf, dan sejenisnya, yang dilekatkan pada pekerja adalah salah satu bentuk pengaburan-pengaburan kesadaran buruh itu sendiri.

Karena itu tak heran, ketika kita banyak melihat fenomena, ketika banyak di antara buruh menolak diri disebut buruh. Ia lebih memilih menyebut dirinya pekerja profesional. Suatu kosakata-kosakata bullshit yang menandakan keberhasilan negara memborjuiskan pikiran para kaum hipokrit kelas menengah ini.

Seperti untaian lirik dalam lagu Internasionale, bahwa kaum yang lapar dan hina, akan mendapatkan kemuliaan yang besar, tentunya dengan kerja keras dan berani kencangkan suara!

Nah, kalau sekiranya lagi ada di posisi terlalu nyaman untuk beranjak memperjuangkan nasib sendiri boro-boro punya orang banyak, tak perlu juga nyinyir tanpa arah, bukan? Terlebih lagi bila ternyata ikut menikmati upaya orang lain.(ete)

Pos terkait