Negeri Ini Kaya. Kata Siapa?

Bogor, KPonline – Gemah Ripah Loh Jinawi Tata Tentrem Kertaraharja. Ach, itu hanya retorika belaka. Pengantar tidur anak-anak di zaman “baheula”. Semenjak dalam buaian dikandung badan, hingga zaman smartphone saat ini, rakyat selalu dinina bobokan oleh bahasa-bahasa halus yang terselubung dengan indah.

Sila berjalan-jalan di seputar Lampu Merah Cililitan atau menyusuri gang yang yang sempit di daerah Kramat Jati. Lihat dan perhatikan! Negeri ini indah dan kaya? Kadang kemiskinan memang menjadi tontotan. Tetapi bagi orang miskin itu sendiri, omong kosong!

Sekali-kali bercakap-cakaplah dengan pelacur di pinggir rela kereta api antara Stasiun Jatinegara hingga Stasiun Klender. Berhimpit-himpitan dengan kesulitan dan kesukaran, para pelacur ini “bekerja” dibawah tekanan yang bernama kebutuhan.

Sementara para pekerja, menghamba pada penguasa korporasi dan tak carang yang “mencari muka” kesana kemari. Tanyakan kepada mereka, kenapa melacurkan diri? Dan tanyakan pada dirimu, kenapa kalian bekerja? Cuma satu jawabannya, kebutuhan hidup.

Negeri ini indah dan kaya, mungkin saja bagi sebagian kecil kelompok masyarakat. Bagaimana dengan sebagian besar kelompok yang lain? Cuma kemiskinan dan penderitaan yang dirasakan. Apakah bisa dikatakan negeri kita ini indah dan kaya? Bagi sebagian orang iya, dan bagi sebagian lagi tidak. Negeri ini kaya bagi sebagian oknum-oknum pengusaha hitam yang terus dengan leluasa mengeksploitasi kekayaan alam negeri ini dengan bebasnya. Meraup keuntungan demi ambisi dan kepentingan pribadi, menjajah di negeri sendiri tanpa harus peduli dengan kerusakan lingkungan dan alam.

Negeri ini kaya? Omong kosong itu!

Kenapa sebagai rakyat kecil tidak pernah menikmati kekayaan negeri ini. Tak pernah kami bermimpi menikmati indahnya sunset di Pantai Kuta, atau sejuknya udara pagi. Tak pernah kami membayangkan naik speed boat menikmati hidup di Kepulauan Raja Ampat atau sekedar berbelanja di Mall Ambasador Kuningan Jakarta.

Toh, yang kami butuhkan bukan itu. Kami membutuhkan harga-harga kebutuhan pokok yang murah. Beras murah dan BBM yang terjangkau. Harga Tarif Dasar Listrik yang murah. Biaya pendidikan dan kesehatan yang murah. Kami tidak membutuhkan hal-hal yang mewah, karena kami sudah terbiasa susah.

Kita boleh berbangga dengan kemegahan Candi Borobudur, tapi kami tidak bangga jika Dewan Perwakilan Rakyat meminta gedung baru yang megah nan mewah, cuma karena “katanya” miring 3 derajat. Hahhh… Lihatlah saudara-saudara kami di pinggiran Kali Ciliwung. Rumah mereka dari kardus dan karung plastik, miring pula. Tidak malu kalian hei para pejabat, apa jadinya jika nasib kalian “tertukar” dengan mereka. Halahhhh, meratap dan meraung-raung dengan penderitaan, itulah yang akan kalian rasakan.

Kita boleh berbangga dengan luasnya hutan tropis yang membentang dari Sabang sampai Merauke. Tapi kami marah, jika hutan yang rendang dan sebagai penampungan air tersebut kalian bakar.

Kalian! Pengusaha-pengusaha “sundel” yang dengan membusungkan dada membakar hutan cuma untuk ditanami kelapa sawit. Ironisnya, kasus pembakaran hutan menguap seiring dengan asap tebal membumbung tinggi ke angkasa. Gila! Itu warisan buat anak-cucu kita nanti Bro!

Kita boleh berbangga diri, tapi seringkali kita pun lupa diri. Negeri ini kaya. Sungguh. Tetapi kekayaan negri ini sering dirampok di depan mata kita. Dan kita diam saja! Grasberg dirampok emasnya, buruh-buruhnya dihabisi, ditembaki, dan kita diam saja! Dan saat ini pun kita “ikut-ikutan gila”, dengan berdiam diri tanpa mau berbuat apa-apa.

Ingatlah! Diam itu adalah Pengkhianatan!