Meski Kantongi Untung Rp164 Triliun, BUMN Disebut Banyak Pekerjakan Outsourcing

Jakarta, KPonline – Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) membukukan pertumbuhan laba sebesar 10,1 persen sepanjang 2016 lalu. Pertumbuhan itu berasal dari seluruh BUMN yang berjumlah 118.

Sekretaris Menteri BUMN Imam A Putro menuturkan, laba BUMN tahun lalu menjadi Rp164 triliun dari sebelumnya yang hanya Rp149 triliun. Sementara itu, pendapatan BUMN tercatat tumbuh 6,1 persen dari Rp1,69 triliun menjadi Rp1,8 triliun. Meski terjadi kenaikan dari sisi laba maupun pendapatan, tercatat adanya perusahaan BUMN yang membukukan kinerja negatif atau merugi pada tahun lalu.

“Data prognosa itu ada 16 BUMN yang mengalami kerugian. Masih angka prognosa. Harapannya kalau sudah audit lebih kecil lagi,” ungkap Iman di Jakarta, Jumat (3/3).

Namun, ada beberapa BUMN yang mulai berbalik arah menjadi positif dari sebelumnya mengalami kerugian. Misalnya saja, PT Pupuk Indonesia dan PT Perkebunan Nusantara.

Selanjutnya, Iman memaparkan, pemakaian belanja modal atau capital expenditure (capex) BUMN sepanjang 2016 mengalami kenaikan 35 persen menjadi Rp297 triliun dari Rp220 triliun tahun 2015.

Sementara, biaya operasinal atau operating expenditure (opex) sebesar Rp1,51 triliun, turun 2,8 persen dari sebelumnya Rp1,56 triliun. Selain itu, untuk asetnya sendiri tumbuh 9,8 persen menjadi Rp6,32 triliun.

Dengan pencapaian yang sudah ada, BUMN pun menargetkan adanya pertumbuhan pendapatan hingga 17,4 persen dan laba mencapai 20,1 persen.

Abaikan Hak-hak Buruh

Alih-alih menjadi contoh yang baik, tata kelola BUMN jauh dari yang diharapkan. Masih sering ditemui, BUMN dij adikan “kuda tunggangan” atau “ladang” untuk mengeruk keuntungan bagi sekelompok orang. Melupakan cita-citanya dalam mewujudkan kesejahteraan bersama.

Pelanggaran hukum ketenagakerjaan, khususnya yang berkaitan dengan outsourcing adalah potret lain dari buruknya pengelolaan BUMN. Berdasarkan temuan yang disimpulkan oleh Panja OS BUMN, hampir semua perusahaan di lingkungan BUMN melanggar UU Nomor 13 Tahun 2003 dan Permenakertrans Nomor 19 Tahun 2012.

Sebagai representasi negara, BUMN seharusnya berada di garis depan dalam menjalankan amanah UUD 1945: Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak; hak bekerja, imbalan, dan perlakuan adil dalam hubungan kerja; dan hak atas pemberdayaan yang berkelanjutan.

Persoalan outsourcing di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah adanya praktik outsourcing yang menyimpang di BUMN. Praktik tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jo. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans) Nomor 19 Tahun 2012.

Permenakertrans Nomor 19 Tahun 2012 menimbulkan kerancuan hukum dalam pelaksanaan praktek kerja outsourcing karena telah memberi peluang kepada perusahaan untuk meng-outsourcing-kan jenis pekerjaan diluar 5 (lima) pekerjaan yang diatur oleh undang-undang. Adapun kasus pelanggaran outsourcing tersebut terjadi di perusahaan perusahaan BUMN seperti PT PLN, Indofarma, Pertamina, PGN, BPJS Ketenagakerjaan (JAMSOSTEK), Telekom, Pos Indonesia, dan BUMN lainnya.

Perusahaan perusahaan tersebut seharusnya menjadi model hubungan industrial yang baik karena dimiliki Negara. Namun faktanya perusahan perusahaan plat merah tersebut menjadi contoh buruk bagi perusahaan perusahaan swasta.

Bahkan sangat ironis ketiak panitia kerja ( Panja ) DPR komisi IX sudah merekomendasikan pengangkatan terhadap pekerja ousourcing BUMN, namun diabaikan oleh Menteri Dahlan ISkan di era pemerintahan SBY dan juga diabaikan oleh Menteri Rini Suwandi di era pemerintahan Jokowi.

Kini, rezim pemerintahan sudah berganti. Tentunya kaum buruh berharap, Pemerintah bisa segera menyelesaikan persoalan outsourcing di BUMN yang sudah terkatung-katung selama bertahun-tahun.