Mengapa Pangdam Tersinggung Pernyataan Larenzus Kadepa Terkait PT Freeport Indonesia?

Jakarta, KPonline – Legislator Papua, Laurenzus Kadepa mempertanyakan sikap Pangdam XVII/Cenderawasih, Mayor Jenderal TNI George Elnadus Supit, yang tersinggung dan marah dengan pernyataan politikus Partai NasDem yang meminta aparat keamanan dan pemerintah, tidak menempatkan diri seolah juru bicara PT Freeport Indonesia (PT FI), terkait aksi demo dan blokir jalan karyawan PT FI di Check Point 28 dan dibubarkan polisi, Sabtu (19/8/2017).

Pangdam XVII Cenderawasih Mayor Jenderal TNI George Elnadus Supit menanggapi pernyataan Kadepa, bahwa pihaknya seolah-olah sebagai juru bicara Freeport

Bacaan Lainnya

“Sorry saya punya gaji, saya punya penghasilan, saya tidak tergantung dengan orang lain. Tolong dicatat itu,” kata Pangdam dalam jumpa Pers di Kuala Kencana, Timika, Senin (21/8/17), seperti dikutip dari berbagai berita online.

Kata Pangdam, pihaknya tidak mau dituduh dengan hal-hal yang tidak benar. “Makanya hati-hati gunakan media sosial itu. Saya akan ngomong keras dengan hal-hal seperti itu,” ujarnya.

Ia membantah aparat Polri dan TNI lebih memihak PT Freeport, apalagi menjadi juru bicara perusahaan. Namun sebagai alat negara, pihaknya memiliki tugas menjaga ketertiban masyarakat dan keamanan negara. Untuk itu, pihak yang melakukan kekacauan akan berhadapan dengan aparat negara.

Menanggapi hal itu, Larenzus Kadepa mengatakan, dalam pernyataannya akhir pekan lalu, ia sama sekali tidak menyinggung atau menyebut aparat TNI, namun pemerintah dan aparat kepolisian.

“Silakan cek lagi berita-berita mengenai pernyataan saya, apakah saya ada menyinggung TNI atau Pangdam? Tidak ada sama sekali. Kenapa Pangdam tersinggung dan marah,” kata Kadepa, Selasa (22/8/2017).

* * *

Sebelumnya, KPonline menerima tulisan berjudul ‘Pemerintah Dan Kepolisian Stop Menjadi Juru Bicaranya Freeport’ yang disebut berasal dari Laurenzus Kadepa, sebagai berikut:

Ribuan pekerja freeport yang diberhentikan secara paksa, pada 19 agustus 2017 melakukan blokade di pintu utama perusahaan. Blokade tersebut bukan tiba-tiba terjadi. Tapi sejak Mei 2017, para pekerja telah menyampaikan masalah mereka. Berani memang. Sampai bulan ke 4, pemogokan dilakukan. Seakan para pekerja berjuang sendiri tanpa sokongan negara. Ya, pemerintah yang terkait cenderung meng-iyakan pernyataan freeport. Bukan membela hak-hak warga negaranya yang di tindas dan dihempaskan begitu saja.

Saya heran, hingga saat ini dimana pemerintah dalam hal ini Presiden Jokowi melalui kementerian ESDM melakukan perbaikan regulasi khusus soal freeport, tak semua unsur penyelenggara mampu menjalankanya. Semangat kendali negara atas korporasi, belum sepadan dengan prilaku polisi di Papua. Paradigma aparat penegak hukum tak beda dari dulu sejak freeport ada. Apa saja pernyataan freeport, itulah yang utarakan polisi ketika terjadi masalah.

Freeport sebut blokade cekpoint 28 dan gorong-gorong di Timika Papua dilakukan oleh sekelompok orang yang diberhentikan lantaran bolos kerja. Pernyataan freeport tersebut di iyakan pula oleh humas polda Papua. Polisi seolah-olah bicara sebagai jurubicara perusahaan, bukan sebagai lembaga penegak hukum

Perjuangan para pekerja sejak mogok, sebagaimana yang mereka sampaikan, antara lain menolak kebijakan fourlok karena tidak sesuai dengan UU pekerja di Indonesia. Bahkan, dalam hal pemberhentianpun, wajib dipenuhi hak seorang pekerja. Tuntutan untuk penghentian PHK massal pun tak digubris perusahaan. Tindakan freeport yang tidak mau bertanggungjawab dan membiarkan api kian membara, didukung pula oleh personil pengamanan freeport yang berjubah bendera Indonesia pula, terjadi ketidakpastian bagi para pejuang buruh di Mimika.

Perlu dicatat bahwa akhir akhir ini, harga tembaga dan emas melonjak namun saham freeport (fcx) tidak stabil lantaran dua masalah. Produksi teganggu akibat pemogokan para pekerja serta perundingan yang berlangsung dengan pemerintah Indonesia belum finish. Walaupun freeport tetap mendapat injin eksport, tapi sama sekali tidak mendongkrat saham yang stagnan. Mestinya perusahaan memperbaiki kinerja mereka soal tuntutan para pekerja dan mematuhi ketentuan negara Indonesia.

Watak rakus nan bengis masih melekat pada freeport sejak era logam hingga era milenia. Kapitalis berslogan kesejahteraan dan lapangan kerja tersebut masih ingin berkuasa dan akupasi kedaulatan negara hingga masa kini.

Perjuangan kaum pekerja freeport seakan sirna ketika suara mereka soal nasib mereka dikubur dengan berita rusuh, bakar-bakaran dan segalanya. Media-media nasional Indonesia isinya makar semua. Jarang yang muat tuntutan sebenarnya. Jarang pula yang singgung tidurnya menakertras terkait masalah pekerja. Media seakan dibeli freeport untuk menghujam siapa saja yang menuntut freeport patuhi aturan. Perusahaan media tak lagi membedakan mana pernyataan freeport, mana pernyataan polisi. Dimuat sama redaksinya. Aneh!

Keberhasilan perusahaan menina bobokan aparat penegak hukum dan media untuk menindas kaum pekerja yang tak lain rakyat sendiri, pupuslah sudah pekik merdeka yang baru saja disorak-sorakkan.

Pernyataan menko maritim bahwa negara tidak boleh di atur-atur oleh freeport, hanyalah omong kosong belaka. Buktinya? pemerintah terus meladeni cengengesan freeport. Seolah-olah perusahaan tersebut yang maha kuasa diatas Pancasila dan UUD 1945.

Gebrakan Jokowi, seorang presiden yang tidak terikat dalam konsensi masuknya freeport di masa lalu, tak membangkitkan para pembantunya di sektor lain. ESDM sudah berupaya paksa freeport tinggalkan kontrak karya dan terima IUPK. Kemana KLHK urus ekologi freeport? Kemana menteri tenaga kerja? Mengapa polisi di Papua terus membela kapitalis nemangkawi dengan mengintimidasi membubarkan paksa para pekerja yang menuntut hak. Ditaruh kemana UU ketenagakerjaan Indonesia!

Negara dan perangkatnya hadir untuk memenuhi hajat hidup masyarakatnya, bukan kepentingan privatisasi.

Apalah artinya 72 tahun merdeka tapi tindakan freeport yang terus menerus mengabaikan aspek hak dan kemanusiaan. Mengangkangi kedaulatan negara selama beroperasi di negeri Amungsa Papua, harus diakhiri.

* * *

Menurut Kadepa, ia justru mempertanyakan sikap Pangdam itu. Kenapa mesti tersinggung dan marah, karena dalam pernyataannya, Kadepa tidak menyinggung institusi TNI.

“Kanapa Pangdam marah? Saya justru mempertanyakan apa di balik itu? Saya hanya menyinggung pemerintah dan kepolisian terkait masalah Freeport agar tidak memposisikan diri seakan-akan juru bicara Freeport,” ujarnya.

Berikut adalah pernyataan Kadepa, yang diterima oleh KPonline dari Ketua FSPKEP SPSI Kabupaten Mimika:

Saya kaget terhadap reaksi keras Pangdam XVII/Cenderawasih, Mayjen TNI George Elnadus Supit saat menanggapi pernyataan saya yang meminta pemerintah dan aparat Polisi agar tidak menjadi juru bicara (jubir) Freeport.

Saya mengklarifikasi, pernyataan tersebut tidak menyebutkan adanya unsur TNI, sebagaimana pernyataan yang disampaikan Pangdam di media. Dalam pernyataan saya, ternyata Pangdam marah besar. Saya heran, karena pernyataan sikap saya, saya tidak pernah menyinggung sedikitpun soal Pangdam atau TNI.

Dalam pernyataan sikap saya hanya menyinggung pemerintah dan kepolisian agar dalam menangani masalah managemen Freeport dan karyawan, tidak boleh memposisikan diri seakan-akan sebagai juru bicara Freeport.

Pangdam marah, coba periksa kembali pernyataan saya, tidak ada saya singgung TNI atau Pangdam, justru saya balik bertanya? Kenapa sikap Pangdam terkesan bereaksi keras, sampe bisa marah besar, saya justru heran Ada apa dibalik itu?

Saya hanya menyinggung pemerintah dan kepolisian soal masalah Freeport tidak boleh memposisikan seakan-akan juru bicara Freeport. Terkait masalah Freeport dengan karyawan yang di PHK tersebut kami DPR Papua pernah menfasilitasi pertemuan antara Freeport dengan karyawan di Banggar DPR Papua. Waktu itu, semua setuju bahwa DPR Papua berikan kepercayaan kepada Disnaker Kabupaten Mimika untuk mereka menfasilitasi pertemuan antara managemen dan SPSI selama 2 minggu dan kami sebagai pengawas.

Namun, deadline waktu yang diberikan itu, ternyata sudah lebih bahkan hampir 1 bulan lebih dan Disnaker Kabupaten Mimika belum melaporkan kepada DPR Papua hasil pertemuan itu. Ini kegagalan pemerintah dan Freeport bertanggungjawab.

Saya tidak tahu tingkat komunikasi yang dibangun Pemda Mimika dengan Freeport sesuai keputusan DPR Papua. Jadi, ini kegagalan pemerintah daerah, karena kami berpatokan pada keputusan kami menyerahkan kepada pemda Mimika, dimana selama 2 minggu mereka buat apa kami tidak tahu.

Jika dalam dua minggu tersebut, ternyata tidak ada langkah-langkah yang dilakukan oleh pemda Mimika dan Freeport, sehingga karyawan mengamuk dan akhirnya pihak kepolisian turun tangan dengan alasan pengamanan.

Bagian itu yang kami bilang, bahwa jangan seakan-akan pihak kepolisian dan pemerintah jadi juru bicara Freeport. Mestinya, pihak pemda dan kepolisian mencari solusi, bukan menghalangi nasib karyawan dan anak istrinya. Kedepan DPR Papua akan mengundang lagi Freeport bersama karyawan serta instansi terkait untuk menanyakan langkah yang diambil tersebut.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *