Membela Hak Para Pejalan Kaki

Jakarta, KPonline – Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan jalan dan Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 2006 tentang Jalan sudah diatur hak para pejalan kaki. Dalam Pasal 106 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 dikatakan, pengemudi kendaraan bermotor wajib mengutamakan keselamatan pejalan kaki.

Sedangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 2006, pelarangan penggunaan trotoar disebutkan dalam Pasal 34 ayat (4) yang mengatakan bahwa trotoar hanya diperuntukkan bagi lalu lintas pejalan kaki.

Lebih dari itu, dalam Pasal 131 disebutkan, pejalan kaki berhak atas ketersediaan fasilitas pendukung berupa trotoar, tempat penyeberangan dan fasilitas lain, mendapatkan prioritas pada saat menyeberang jalan di tempat penyeberangan, dan dalam hal belum tersedia fasilitas sebagaimana dimaksud diatas pejalan kaki berhak menyeberang di tempat yang dipilih dengan memperhatikan dirinya.

Ada beberapa penyebab hak-hak tersebut belum didapatkan oleh para pejalan kaki. Terutama karena tidak ada sanksi hukum yang tegas dari pihak yang berwajib. Kondisi jalanan yang sudah sangat macet, semestinya tidak bisa dijadikan alasan bagi pengendara untuk menggunakan trotor sebagai jalan untuk kendaraan.

Dikutip dari Sindonews.com, Jumat (18/8/2017), ketua Koalisi Pejalan Kaki, Ahmad Safrudin mengatakan, pencanangan bulan tertib trotoar oleh Gubernur DKI Djarot Saiful Hidayat yang dilaksanakan sejak awal Agustus ini masih jauh dari kata tertib. Sebab, kondisinya saat ini masih banyak trotoar yang diokupasi oleh Pedagang Kaki Lima (PKL), parkir kendaraan dan kendaraan yang melintas.

Misalnya di kawasan Sabang, Jakarta Pusat dan sekitarnya, kata Ahmad, sejak dilaksanakannya bulan tertib trotoar, hampir tidak pernah sama sekali PKL ditertibkan.

Ahmad menjelaskan, berdasarkan survei PT Pembangunan Jaya pada 2005 ketika rencana pembangunan 6 ruas jalan tol digaungkan, ada sekitar 35% warga Jakarta yang memilih untuk berjalan kaki. Posisi itu ada di tingkat pertama, Sedangkan untuk transportasi umum ada ditingkat kedua dengan 22%, dan posisi ketiga, keempat ditempati kendaraan pribadi.

Artinya, lanjut Ahmad, minat berjalan kaki warga Jakarta sangat tinggi. Hanya saja fasilitasnya tidak memadai, baik itu diokupasi pihak lain ataupun banyak juga yang belum dilengkapi trotoar. Sehingga, banyak orang tua khawatir jikalau anak-anaknya pergi sekolah berjalan kaki diserempet kendaraan.

“Idealnya ruas jalan 7.000 kilometer di Jakarta dilengkapi trotoar dan tidak boleh diokupasi selain pejalan kaki. Kalau ada fasilitas itu, minat wara untuk berjalan kaki sanat tinggi,” ungkapnya.

Terkait banyaknya PKL binaan diatas trotoar yang menjadi alasan Dinas Usaha Mikro Kecl Menengah (UMKM) sebagai pendukung pejalan kaki, Ahmad menilai itu hanya alasan kegagalan pembinaan PKL oleh Dinas UMKM. Menurutnya, apabila ingin benar-benar membina, Dinas UMKM harus bisa menyediakan lahan diluar trotoar. Meskipun ada, kata dia, luas lapak PKL tidak boleh lebih besar dari ruas jalan kaki.

“Jadi misalnya ada trotoar lima meter, ya PKL itu dua meter. Sisanya untuk pejalan kaki,” ungkapnya.

Ahmad menyarankan agar Pemprov DKI bersama pihak kepolisian konsisten melakukan penertiban trotoar bukan dalam bulan tertentu seperti apa yang tertuang dalam intruksi Gubernur (Ingub) No 99 Tahun 2017 tentang bulan tertib trotoar.

“Kami setiap jumat terus mengkampanyekan trotoar sebagai tempat pejalan kaki,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *