Korporatokrasi: Ruang Gelap Kaum Buruh dan Rakyat Indonesia

Menyikapi proses Pemilihan Presiden, ratusan buruh yang tergabung didalam KSPI melakukan aksi damai di depan Bundaran Hotel Indonesia. | Foto: Kascey

Jakarta, KPonline – Dalam ekonomi fundamentalisme pasar di Indonesia, peluang negara dikuasai oleh segelintir pemodal sangat mungkin terjadi. Para pemilik modal yang ditopang oleh lembaga keuangan internasional dan negara-negara maju dapat membiayai proses politik seperti Pemilihan Umum (Pemilu), peraturan perundangan, hingga menentukan arah opini publik melalui lembaga-lembaga survei.

Siapa para pemilik modal tersebut? Dalam penguasaan sumber-sumber ekonomi nasional, modal asing menguasai 70 – 95 persen struktur modal nasional. Sejak 2012 saja, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyebutkan bahwa investasi di luar migas, perbankan, lembaga keuangan non bank, asuransi, sewa guna usaha, industri rumah tangga sebesar 72.94% dikuasai oleh modal asing. Sebanyak 85% penguasaan migas nasional berada di tangan asing. Dalam sektor minerba, emas dan perak, 95% lebih dikendalikan oleh dua perusahaan yakni Newmont dan Freeport. Dominasi asing juga terjadi dalam sektor perkebunan, keuangan, dan perbankan.

Sisanya adalah modal nasional yang berkolaborasi dengan modal asing. Misalnya dalam penguasaan batu bara seperti Bumi Resources yang merupakan perusahaan yang dimiliki oleh politisi nasional Aburizal Bakrie, merupakan perusahaan nasional yang asetnya (81%) dibentuk oleh utang yang bersumber dari investor internasional.

Pada lapisan masyarakat Indonesia, hampir separuh penduduknya berpendapatan dibawah USD 2 purchasing power parity (PPP). Tak heran jika para pemilik modal dengan kekuatan uang yang besar dapat membiayai politisi boneka untuk membeli suara rakyat dengan harga murah pada momen-momen pemilihan umum di level daerah hingga nasional, baik untuk legislatif maupun eksekutif. Demikian dilakukan para pemilik modal untuk mengukuhkan kepentingannya dalam mempertahankan kegiatan ekspolitasi sumber daya alam maupun praktek bisnisnya yang ekspolitatif.

Konstruksi ekonomi – politik tersebut percis seperti teori Materialisme – Dialektis Karl Marx yang menyatakan bahwa siapa yang menguasai basis struktur (lapisan ekonomi) akan menguasai supra struktur (ide-ide umum dan infrastruktur negara). Jika mengikuti teori Marx tersebut, kelas kapitalis (para pemilik modal) adalah yang mengendalikan negara melalui kolaborasinya dengan elit-elit politik korup—komprador.

Politik pemerintahan pasca Orde Baru juga mengamini pandangan John Perkins dalam bukunya, Confessions of an Economic Hit Man (2004), yang menyatakan bahwa Korporatokrasi adalah suatu sistem pemerintahan yang dikendalikan, dikuasai atau dijalankan oleh korporat. Yang dimaksud dengan korporat adalah para pengusaha kaya, baik asing maupun nasional, yang memiliki dana lebih dari cukup untuk mengendalikan kebijakan-kebijakan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lain-lain dalam suatu negara. Pada prakteknya, para korporat ini berupa donatur atau penyumbang dana yang mengidupi para politikus nasional, pejabat-pejabat militer dan kepala-kepala instansi strategis suatu negara.

Pasca 1998, Indonesia telah diantarkan pada situasi politik dan ekonomi yang dikuasai oleh segelintir kelas kapitalis internasional dan nasional serta elit komprador sebagai kolaboratornya. Ini mengkhianati Pancasila dan UUD 1945 Pasal 33 ayat (1), (2), dan (3) yang mengamanahkan kepada negara untuk mengelola kekayaan alam dan cabang-cabang produksi yang penting digunakan untuk kemakmuran rakyat. Sesungguhnya Korporatokrasi mengkhianati dasar negara dan konstitusi Republik Indonesia, karena yang terjadi, kekayaan alam dan cabang-cabang produksi yang penting digunakan untuk kemakmuran para kapitalis.

Salah satu diskursus penting yang bertansmisi dalam sistem korporatokrasi adalah good governance. Sehingga wajar jika IMF dan Bank Dunia sangat bermurah-hati membiayai program-program good governance. Namun perlu membedakan antara governance dengan government, walaupun kedua terminologi tersebut sama-sama merujuk kepada satu isntitusi. Good governance merupakan konsep yang mengandaikan bahwa entitas politik ditata kelola secara alamiah – inheren dengan asumsi Hayek yang memandang masyarakat alamiah (society as nature). Semakin matangnya term good governance sebagai salah satu agenda Milenium Development Goals (MDGs)—yang dilanjutkan dengan Sustainable Development Goals (SDGs)—linier dengan terbukanya peranan non negara ikut serta dalam proses penentu kebijakan. Buah yang dipetik oleh para kapitalis dari sistem korporatokrasi adalah tumbuhnya skema Public Private Partnership (PPP) dalam pengerjaan proyek-proyek pembangunan. Hal ini sudah terjadi di Indonesia.

Kondisi Indonesia demikian seperti yang diungkapkan oleh Samir Amin, bahwa Negara Dunia Ketiga mengalami kondisi ketergantungan sekaligus mengalami ketimpangan pendapatan (unequal exchange) terhadap negara-negara kapitalis maju oleh sebab menjadi objek eksploitasi tingkat dunia oleh para kapitalis internasional. Dengan demikian, fenomena penindasan nasional tersebut perlu ditemukan anti-tesis berupa partisipasi negara dalam menyelesaikan problem penindasan tingkat dunia tersebut. Saya menawarkan: Sosial – Demokrat Indonesianik (SDI).

Berdasarkan anti-tesis ideologi yang saya tawarkan berupa SDI tersebut, paradigma situasi nasional yang mengemuka adalah negara mengalami ambivalensi, di satu sisi menguat dan melemah sekaligus. Di satu sisi negara berperan dalam mekanisme pasar, seperti peranan fiskal yang menentukan dalam menata ekonomi. Di sisi lain, negara tidak melaksanakan tugas-pokok-fungsinya untuk menciptakan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Perspektif yang saya kemukakan adalah, problem utama negara, tidak lain dan tidak bukan berupa sifat inferior negara dihadapan korporasi besar, sehingga negara tidak memiliki posisi bargain yang kuat. Anti-perspektif terhadap mental kolonial tersebut seharusnya, korporasi-lah yang membutuhkan negara, karena tanpa negara, korporasi tak dapat berkuasa di pasar.

Percumbuan antara negara dengan korporasi ini, jika ditelaah lebih dalam, disebabkan oleh watak kapitalisme-rente dari elit-elit yang tergabung dalam oligarki politik. Sehingga, ada benang merah antara korporasi, negara, dan elit politik yang landasan ikatan kesemuanya berupa hasrat akumulasi modal. Sejak era merkantilisme-kolonialisme abad 17, logika borjuasi (yang saat ini adalah korporat) memandang bahwa kolaborasi dengan penguasa adalah strategi jitu menguasai pasar masukan (sumber daya alam & manusia) dan pasar keluaran (pasar konsumsi). Begitupun sebaliknya, logika komprador elit politik memandang bahwa kolaborasi dengan borjuasi adalah strategi jitu mengakumulasi kapital tanpa produksi (dalam bahasa Soekarno: Kapitalis Birokrat/ Kabir).

Dari kompleksitas persoalan nasional diatas, dimana posisi buruh dalam sistem politik korporatokrasi ini? Sebagaimana judul tulisan ini, buruh dan rakyat hanyalah bahan bakar. Hasil keringat buruh dan rakyat berupa pajak menjadi vitamin bagi negara untuk memfasilitasi pembangunan yang dikerjakan korporasi degan skema Public Private Partnership ataupun investasi langsung (direct investment) dan sekaligus melegitimasi bahwa kekuasaan negara hari ini, sah, diakui rakyat. Fasilitas pembangunan yang diberikan oleh negara (dari kumulasi uang rakyat) kepada korporasi adalah infrastruktur fisik maupun non-fisik dalam rangka menyukseskan agenda agar kapitalis menanamkan modalnya.

Selain itu, uang rakyat juga kadang digunakan negara untuk melindungi korporasi dari kebangkrutan melalui baillout, contoh populer: korporasi perbankan. Oleh sebab itu, buruh dan rakyat sebagai pihak yang ditindas oleh persekongkolan negara dan korporasi (korporatokrasi) perlu melakukan pergerakan guna memperjuangkan demokrasi, demokratisasi, dan perjuangan demokratik dimana buruh dan rakyat menjadi subjek dalam pengambilan kebijakan negara untuk kepentingan (Re)publik.