Kisah Airmata Di Pojok Toilet

“Halahhh..teman-teman kamu tau apa, apa mereka mikirin kamu, mikirin adik-adik kamu yang masih kecil dan butuh banyak biaya untuk sekolah.Bapak kamu cuma seorang kuli bangunan Neng..” kalimat-kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut Ibuku. Ya Ibuku yang begitu menyayangiku. Aku tahu, beliau tidak rela jika aku harus terus menerus mengikuti kegiatan organisasi serikat pekerja dimana aku bernaung.

Namaku Siti. Ya sebut saja Siti (bukan nama sebenarnya). Karena aku yang menginginkan ditulis seperti itu ketika salah seorang Tim Media Perdjoeangan Bogor mendatangi rumah petakan di daerah Citeureup, Bogor. Rumah petak yang sudah melindungi kami sekeluarga dari sengatan panas mentari dan dinginnya malam. Resah dan gelisah yang terpendam karena “omelan” dari Ibuku, membuatku tak tahan dan akhirnya aku tumpahkan semuanya dan aku ceritakan padanya.

Bacaan Lainnya

Sudah 2 bulan ini aku menganggur dan tidak mempunyai penghasilan. Managemen dimana aku bekerja sudah memutuskan kontrak kerja. Padahal aku sudah 5 tahun bekerja disana. Seingatku, aku sudah beberapa kali menandatangani surat kontrak kerja, tapi sekalipun tak pernah diberikan fotokopi surat kontrak kerja. Ya..Aku sebenarnya tidak pernah mengeluh mengenai hal tersebut, asalkan aku masih bisa bekerja dan mendapatkan upah, aku sudah bahagia. Hingga suatu hari di awal 2017 yang lalu.

Teman sekaligus sahabatku Yeni (bukan nama sebenarnya) menghampiriku disaat jam kerja masih berlangsung. Dia memelukku dengan erat sambil menangis tersedu-sedu. Entah apa yang membuatnya menangis seperti itu. Dia hanya memberi isyarat kepadaku agar mengikutinya menuju toilet perempuan yang berada di pojokan pabrik. Dia menceritakan semuanya kepadaku tentang kontrak kerjanya yang tiba-tiba diputus oleh pihak perusahaan. Setelah 11 tahun mengabdi di perusahaan ini dan tiba-tiba saja perusahaan mem-PHK dengan seenaknya.

Wajar saja. Yeni merupakan salah satu dari 20 orang pendiri pabrik ini. Berdiri pada tahun 2007, pabrik ini masih berbadan hukum CV dan Yeni-lah yang menjadi motor penggerak di lini produksi. Saat ini perusahaan sudah mulai maju dan mengalami perkembangan yang begitu pesat. Sudah berbentuk PT (perseroan terbatas) dan mempunyai banyak karyawan. Bahkan, sebagian besar hasil produksinya dieksport ke luar negeri. Kesejahteraan ? Jangan kalian tanyakan. Upah kami masih menggunakan UMK, itu pun aku ketahui setelah aku dan puluhan teman-temanku berserikat.

Yeni hanya bisa tertunduk lesu dipojokan toilet. Apa yang harus dia katakan kepada orang tuanya ketika sampai dirumah nanti ? Bapak..Ibu..aku sudah di-PHK begitu ? Mau makan apa mereka nanti, karena satu-satunya tulang punggung di keluarga hanyalah Yeni. Dan aku hanya bisa duduk disampingnya. Terdiam tanpa bisa melakukan apa-apa. Karena aku dan Yeni memang tidak mengerti dan tidak memahami aturan ketenaga kerjaan. Apalagi soal UU 13/2003. Waktu itu kami tidak tahu apa-apa. Yang kami tahu hanyalah bekerja dan bekerja. Menghasilkan produk dan di akhir bulan kami akan menerima upah. Itu saja.

Hingga pada akhirnya, aku dan beberapa orang temanku yang mayoritas perempuan bertemu dengan salah seorang pekerja yang pabriknya tidak jauh dari pabrik tempat dimana aku bekerja. Pertemuan demi pertemuan kami lalui. Konsolidasi hingga aksi daerah dan aksi nasional pun kami ikuti. Dan minggu ini adalah hari-hari yang menegangkan bagi kami. Karena minggu ini kami akan melakukan aksi Mogok Kerja dan aksi Unjuk Rasa.

Perundingan Bipartit hingga mediasi di Dinas Ketenagakerja pun sudah kami lalui. Bahkan Dinas Pengawasan Tenaga Kerja pun sudah kami sambangi, dengan harapan kami mendapatkan keadilan yang seadil-adilnya.

Kembali ke teras rumahku di ujung jalan perkampungan, aku dan temanku melanjutkan keluh kesah. Hingga percakapan yang hangat tersebut terhenti ketika Ibuku menyela pembicaraan kami. “Siti..sampai kapan kamu mau ikut-ikutan demo terus ? Memang kamu dapat gaji kalau ikut-ikutan demo ?” begitu deras kalimat yang meluncur, tapi hanya 2 pertanyaan itu yang bisa aku tangkap. 2 pertanyaan itu begitu menusuk dada dan menohok. Dan hanya tetesan airmata yang menjawab pertanyaan-pertanyaan Ibuku.

Aku paham yang dimaksud oleh Ibuku. Bersabarlah Bu dan doakan anakmu ini. Aku sedang berjuang untuk mendapatkan keadilan. Doakanlah.

Pos terkait