Ketimpangan Ekonomi Makin Menjadi: Upah Layak, Subsidi, dan Koperasi Sebagai Solusi?

Jakarta, KPonline – Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), rasio gini per Maret 2017 sebesar 0,393, relatif stagnan dibandingkan rasio gini pada September 2016 yang mencapai 0,394. Salah satu ukuran ketimpangan yang sering digunakan adalah rasio gini yang nilainya berkisar 0-1. Semakin tinggi nilai rasio gini, menunjukkan ketimpangan ekonomi yang semakin tinggi. Dengan kata lain, jurang antara si kaya dan di miskin semakin lebar.

Data ini selaras dengan dengan jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2017 yang mencapai 27,77 juta orang atau bertambah sebanyak 6,9 ribu dibandingkan jumlah penduduk miskin per September 2016, sebanyak 27,76 juta orang. Perlu dicatat, angka ini belum menghitung jumlah penduduk yang hampir miskin yang total jumlahnya tak terpaut jauh.

Bacaan Lainnya

Bank Dunia mencatat, kesenjangan ekonomi di Indonesia makin menjadi sejak 15 tahun terakhir. November 2015, menurut Bank Dunia, angka koefisien gini ratio nasional yang pada 2000 hanya 0,300, tetapi 13 tahun kemudian sudah bertambah menjadi 0,410.

Laporan yang tak jauh berbeda sempat dirilis Oxfam dan International NGO Forum on Indonesia Development (lNFlD). Dalam dua dekade terakhir kesenjangan antara kaya dan miskin di Indonesia juga meningkat lebih cepat daripada negara lainnya di Asia Tenggara, bahkan salah satu yang terburuk di dunia.

Bagian lain dalam laporan Oxfam menunjukkan ada 93 juta penduduk Indonesia yang hidup di garis kemiskinan, sementara yang hidup di atas garis kemiskinan juga rentan untuk kembali ke garis kemiskinan. Di sisi lain, jumlah miliarder Indonesia juga terus meningkat dari satu orang pada 2002 menjadi 20 miliarder pada 2016.

Upah layak dan subsidi menjadi solusi atasi ketimpangan ekonomi

Menurut Presiden KSPI Said Iqbal, 54% pekerjaan berada di sektor informal dengan upah murah dan tanpa jaminan sosial serta kepastian kerja. Situasi tersebut dinilai semakin diperparah dengan kebijakan upah murah yang diberlakukan oleh Presiden Jokowi melalui PP 78/2015 tentang Pengupahan yang akan makin mempersulit biaya hidup dan menurunkan daya beli buruh. Belum lagi adanya penurunan angka konsumsi dikarenakan pencabutan subsisi yang berakibat melambungnya harga kebutuhan harian seperti Sembako, Gas 3Kg, tarif dasar listrik, BBM, ongkos transportasi dan sewa rumah. Dampaknya mulai terasa, misalnya terpukulnya sektor retail.

Kebijakan pencabutan subsidi ini membuat rakyat miskin harus menanggung dampak kenaikan harga barang dan jasa. Dengan kenaikan barang-barang maka daya beli rakyat semakin melemah sehingga memperdalam angka kemiskinan. Hal ini juga ditegaskan Ketua Presidium Perhimpunan Masyarakat Madani (PRIMA) Sya’roni yang mengingatkan agar Presiden Jokowi harus segera mengubah arah haluan pembangunan ekonomi, agar lebih berpihak kepada rakyat kecil.

Masih menurut Said Iqbal, angka kesenjangan antara penduduk miskin dan kaya akan semakin meningkat jika pemerintah terus mengeluarkan kebijakan upah murah dan pro bisnis, tanpa diiringi upah layak. “Upah layak itu untuk meningkatkan daya beli dan perlindungan untuk orang miskin,” tegasnya.

Oleh karena itu, Said Iqbal mengusulkan, untuk mengurangi kesenjangan pendapatan dapat dilakukan dengan meningkatkan daya beli “Purchasing Power” melalui upah layak bukan upah murah, dengan mencabut PP 78/2015 dan memberlakukan upah sektoral industri serta meningkatkan pelayanan dan benefit jaminan kesehatan dan jaminan pensiun.

Hal senada juga disampaikan Pengamat Ekonomi Faisal Basri. Faisal menyebut, 10 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 75,7 persen kekayaan nasional. Kekayaan tersebut diperoleh karena faktor kedekatan dengan kekuasaan. Sementara di sisi lain, pemerintah belum mampu meningkatkan kesejahteraan kelompok pekerja.

Lebih lanjut, menurut Faisal, pendapatan kelompok masyarakat pekerja cenderung menurun. Hal itu diperparah dengan bertambahnya jam kerja karena tekanan ekonomi. “Mayoritas pendapatan petani, buruh tani dan buruh bangunan menurun. Karena tekanan ekonomi jam kerja pun jadi bertambah, rata-rata 49 jam per minggu. Kelompok Pekerja di Indonesia masuk kategori pekerja keras nomor tiga setelah Hongkong dan Korea,” ujarnya.

Memperkuat ekonomi kerakyatan melalui Koperasi

Jika mau dikembangkan dengan serius, koperasi bisa menjadi bagian penting dari solusi mengatasi kesenjangan ekonomi masyarakat. Hal ini, karena, posisi koperasi yang sangat strategis untuk mendorong pemerataan dan keadilan sosial.

Berdasarkan data dasar dari Badan Pusat Statistik dan Kementerian Koperasi, jumlahnya mencapai 150.223 unit. Namun volume usahanya masih relatif kecil, sehingga ruang untuk dikembangkan masih sangat besar. Pada 2015, kontribusi usaha koperasi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) baru mencapai 2,31 persen atau setara dengan Rp 266,13 triliun.

Sementara kondisi perekonomian saat ini hanya dikuasai oleh segelintir elit. Laporan Credit Suisse, perusahaan konsultan keuangan, pada 2016 bahwa 1 persen penduduk terkaya Indonesia menguasai 49,3 persen kekayaan nasional. Laporan bertajuk ‘Global Wealth Databook’ tersebut juga menyebutkan bahwa 10 persen penduduk terkaya menguasai 75,7 persen.

Koperasi adalah usaha bersama. Sehingga setiap keuntungan bisa dinikmati oleh semua anggotanya, bukan hanya segelintir orang.

Gagasan untuk membangun penguatan ekonomi juga sedang dilakukan oleh kalangan serikat pekerja. Beberapa artikel terkait Koperasi Pekerja antara lain:

Menteri Koperasi dan UKM Optimis Koperasi Buruh Bisa Menjadi Ritel Raksasa

Membangun Koperasi Sebagai Gerakan Ekonomi Kerakyatan

NTUC-FairPrice: Luar Biasanya Koperasi Buruh Singapura, Bagaimana dengan Indonesia?

Membangun Gerakan Ekonomi Pekerja Melalui Koperasi

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *