Kebijakan Pajak Rugikan Perempuan yang Bekerja

Jakarta,KSPI- Kebijakan pajak terhadap perempuan yang diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) dinilai menyimpan persoalan dan melawan Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP). Aturan tersebut dianggap merugikan perempuan yang bekerja.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengemukakan, pasal 8 UU PPh bukan sekadar persoalan administrasi. “Pasal 8 UU PPh tidak mengikuti perubahan konseptual dan spirit Pasal 2 Undang-Undang KUP sehingga muncul kontradiksi,” ujarnya, dalam keterangan tertulis, Rabu (27/1/2016).

Bacaan Lainnya

Yustinus menilai, Pasal 2 UU KUP dan Pasal 8 UU PPh memiliki spirit yang bertolak belakang. Pertama, mengadopsi sistem perpajakan pemisahan penghasilan (income-splitting) sehingga perempuan yang bekerja bisa memiliki NPWP sendiri. Terakhir, justru mengadopsi konsep kewajiban pajak bersama (join-filling) antara suami-istri.

“Konsep family unit (join filling) tidak sepenuhnya berlaku ketika Pasal 2 UU KUP memberikan hak perempuan kawin untuk memiliki NPWP sendiri. Latar historisnya, SMI (Sri Mulyani Indrawati) sebagai menkeu waktu itu meminta ini diakomodir sebagai bentuk penghargaan kepada perempuan yang setara dengan laki-laki,” jelasnya.

Yustinus mengatakan, kontradiksi dua aturan itu memiliki sejumlah konsekuensi yang merugikan kaum hawa. Penggabungan penghasilan suami dan istri, kerugian atau keuntungan istri menjadi kerugian atau keuntungan suami.

“Perempuan yang kawin ini harus menggabungkan penghasilan dengan suami untuk dihitung PPh gabungan dan dipisah secara proporsional. Akibatnya jelas merugikan,” katanya.

Yustinus melanjutkan, perempuan kawin yang memiliki NPWP sendiri dan digabung dengan penghasilan suami juga berpotensi membayar pajak lebih tinggi. Tak berhenti di situ, perempuan kawin yang suaminya tak bekerja baru boleh mengklaim PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) melalui surat yang dikeluarkan oleh pihak kecamatan.

“Perempuan kawin yang bekerja menghidupi keluarga harus menanggung beban tambahan, dipermalukan karena suaminya menganggur,” ujarnya.

Kebijakan pajak yang berlaku di Tanah Air itu pun dinilainya berbeda jauh dengan kebijakan pajak yang berlaku di Singapura. Yustinus menyebut, Singapura memberikan fasilitas bagi perempuan kawin yang bekerja melalui WMCR (working mother child relief).

“Istri yang bekerja diberi tunjangan karena ia harus membayar baby sitter dan kehilangan waktu bersama anaknya. Bagaimana Indonesia? Jauh,” tandasnya (sumber:sindo)

Pos terkait