“Jangan jual kepala buruh dengan harga murah…”

Bogor, KPonline – “Ayah..pampers si Dede sudah habis.. si Kakak ada kegiatan ekstra-kurikuler diluar sekolah..studi banding katanya ke Bandung.. biayanya 350rb..oh iya sekalian pulang kerja nanti beliin susu formula buat si Dede yaa..sudah habis..”

Begitulah isi SMS yang dikirimkan oleh istriku saat jam istirahat tadi. Ya, lewat SMS. Karena sudah kujual ponsel pintar berbasis Android punyaku dan kepunyaan istriku.

Jangan kamu tanyakan kenapa harus kujual, karena hanya akan membuat dadaku sesak. Sembab kelopak mata ini dan akhirnya….

Ach, sudahlah. Jangan bahas itu lagi.

Pabrik dimana aku bekerja sekarang menggunakan upah khusus sektor Tekstil, Sandang dan Kulit. Padahal sebelumnya menggunakan Upah Minimum Kabupaten.

Seperti mimpi, serasa baru kemarin rasanya aku bekerja di pabrik ini.

Padahal sudah 12 tahun. Ternyata dalam rentang waktu yang panjang itu tidak ada perubahan yang signifikan dalam hal kesejahteraan. Yang ada, satu per satu dirampas.

Mengharapkan kenaikan upah, malah penurunan yang didapat. Ironisme menjadi buruh di negeri ini.

Kuseruput kopi hitam buatan lokal di gelas plastik, dan kuhirup asap tembakau dari rokok kretek hasil ngutang di warung yang nominalnya makin menggunung.

Siang ini, kulampiaskan segala keluh-kesah dan kekesalanku lewat kepulan asap rokok. Kuseruput kopi hitam sebagai penambah semangat hidup. Hanya ini hiburanku.

Bel berbunyi. Tanda aku dan kawan-kawan harus kembali bekerja. Menyalakan mesin dan kembali beproduksi.

Aku pikir, kenapa aku harus bekerja begitu keras, tapi roda hidupanku tak juga berputar ke atas. Bekerja seperti robot yang bernyawa, tapi dibayar hanya cukup untuk makan saja.

Ratusan produk sudah kubuat dan siap untuk dikirim keluar negeri, hari ini. Karena hanya orang-orang kaya saja dan orang-orang “bule” yang mampu membeli produk buatan kami. Bahkan kalau ada barang rijeck dihancurkan. Kami tak boleh memintanya, sekedar dipakai untuk bekerja.

Kenapa aku harus menerima upah murah, jika harga produk buatan kami harganya mewah?

Bel pulang berdentang.

Waktunya aku dan kawan-kawanku kembali pulang. Membawa lelah dan segudang masalah ke rumah.

Belum juga keluar pintu gerbang, aku kembali teringat SMS dari istriku tercinta. Dan kali ini, otakku berhenti berpikir. Apalagi yang harus kujual agar susu anakku terbeli?

Upah TSK membunuhku. Juga keluargaku.

Jika boleh aku meminta, aku meminta agar upah sektor TSK dibatalkan. Sesederhana itu. Janganlah Tuan membuat kebijakan diskriminatif seperti ini.

Jangan kau jual kepala kami dengan harga yang murah untuk para investor.

Untuk para pimpinan serikat, sadarilah, bahwa engkau adalah wakil kami. Penyambung lidah suara kami. Gagalkan upah sektor padat karya. Serukan perlawanan. Kami akan ikhlas dan siap berjuang di belakangmu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

2 Komentar