Ini Alasan KSPI Nobar Film G30S/PKI

Jakarta, KPonline – KSPI mengajak kader-kadernya untuk melakukan nonton bareng film G30S/PKI. Bahkan ada himbauan, agar nobar bisa dilakukan serentak di masing-masing kantor cabang, pada Jumat malam, tanggal 29 September 2017.

Apa alasan KSPI memutar film G30S/PKI? Pertanyaan ini banyak disampaikan, ketika secara terbuka Presiden KSPI yang juga Presiden FSPMI, Said Iqbal, mengatakan bahwa KSPI akan melakukan nobar dan diskusi terhadap film yang dibuat pada era orde baru itu.

Terkait dengan isu yang sensitif ini, ada dua pandangan yang berbeda. Sebagian mendukung, dan tak kalah sengit, ada kubu yang menolak.

Tentu kita akan senang apabila dukungan dan penolakan tersebut disertai dengan alasan. Dengan demikian, pada akhirnya kita semua bisa saling belajar memahami sejarah ini dengan baik.

Menarik ketika menyimak beberapa pendapat, bahwa diskusi harus menyajikan fakta dan dokumentasi yang berimbang. Termasuk juga dengan menayangkan film pembanding, semacam Senyap dan Jagal.

Namun demikian, yang tidak boleh dilakukan adalah melakukan kekerasan dan intimidasi guna memaksakan pendapat dan keyakinan.

Terhadap semua masukan tersebut, tentu kita berterima kasih. Adalah tugas kita sebagai aktivis pergerakan untuk selalu belajar menemukan kebenaran.

Jika kemudian KSPI memiliki kesimpulannya sendiri setelah membaca semua narasi tadi, itulah yang disebut dengan sikap.

Tentang PKI, bagi KSPI, hal itu sudah diatur dalam Ketetapan MPRS Nomor 25 Tahun 1966. Ketetapan tersebut masih berlaku hingga hari ini. Oleh karena itu, sebagai organisasi yang setia pada Pancasila dan UUD 1945, KSPI berpegang teguh pada ketetapan itu.

Seperti diberitakan koranperdjoeangan.com pada Sabtu (23/9/2017), Said Iqbal mengatakan setidaknya ada dua hal yang melandasi pemikiran mengapa film ini perlu ditonton kembali. Pertama, untuk memahami sejarah bangsa seputar kejadian 1965. Sementara alasan kedua, untuk membuka ruang tentang pentingnya diskusi. Sekali lagi, diskusi adalah jalan keluar jika ada perbedaan. Bukan dengan melakukan intimidasi dan kekerasan.

“Perbedaan tidak boleh disikapi dengan kekerasan dan penyerangan, sebagaimana yang dilakukan sekelompok orang terhadap LBH Jakarta.

Dalam hal ini, kita tidak sedang membicarakan konten atau isi dari film G30S/PKI. Justru sebaliknya, ini adalah pintu masuk untuk kaum buruh agar lebih banyak belajar tentang peristiwa 1965 — agar tragedi berdarah seperti ini tidak terulang kembali.

Jika ada pihak tidak menyetujui isi film tersebut, tentu bisa membuat film dengan pandangan berbeda, tanpa menanggalkan fakta yang ada.

“Kalau tidak setuju dengan film, bikin film sebagai pembanding. Kalau dengan sebuah buku, ya, bikin buku lagi. Tentu sesuai konstitusi,” ujar Said Iqbal.

Said Iqbal menolak jika perbedaan mengenai pemutaran film dan polemik mengenai PKI dilakukan dengan cara kekerasan.

“Kami menolak cara-cara kekerasan dalam menyikapi perbedaan di alam demokrasi. Demokrasi akan terancam jika setiap orang berbeda memaksakan kehendak kemudian melakukan kekerasan,” ujarnya.

Itulah juga, mengapa kemudian KSPI memprotes kekerasan terhadap LBH Jakarta. Sikap main hakim sendiri akan merusak demokrasi, dan bila tidak dihentikan, tidak menutup kemungkinan hal yang sama akan dialami oleh serikat buruh.

Selama ini, KSPI dikenal cukup gigih dalam melawan keserakahan kapitalis dan menentang liberalisasi, karena hal itu bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.

KSPI menjadikan aksi-aksi besar dan parlemen jalanan sebagai pilihan perjuangan. Sebuah lembaga independen, Indonesian Indikator, bahkan menempatkan KSPI sebagai organisasi paling kritis dalam isu perburuhan dalam beberapa tahun berturut-turut.

KSPI bukan oposisi. Karena tidak dikenal oposisi dalam gerakan buruh. Apa yang disampaikan KSPI adalah sebuah sikap kritis terhadap kebijakan pemerintah. Bukan hanya di era Presiden Joko Widodo. Di era pemerintahan SBY sekalipun, sikap kritis dan keras kepala KSPI terhadap apa yang diyakini sebagai sebuah kebenaran tak goyah.