Hari PRT Internasional; Pekerja Rumah Tangga Makin Ditinggalkan Negara

Jakarta, KPonline – Tanggal 16 Juni 2017 adalah tepat 6 tahun hari Pekerja Rumah Tangga (PRT) Internasional. Latar belakang peringatan hari PRT Internasional Ini bertepatan dengan lahirnya Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak Pekerja Rumah Tangga.

Menyambut peringatan Hari PRT, sejumlah aktivis melakukan konferensi pers di LBH Jakarta, Kamis 14 Juni 2017. Sebagai pembicara konferensi pers tersebut adalah Lita Angraeni (JALA PRT), Kahar S. Cahyono (Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia/KSPI ), Oky Wiratama (LBH Jakarta), dan Ludiah (Divisi Advokasi SPRT).

Bacaan Lainnya

Dalam konferensi pers tersebut, disampaikan bahwa Indonesia sebagai negara yang memiliki jumlah PRT terbesar di dunia masih belum ada perubahan apun terhadap situasi PRT. Berdasarkan Rapid Assesment yang dilakukan oleh JALA PRT (2010), jumlah PRT diperkirakan mencapai 16.117.331 orang. Sedangkab berdasarkan Survei ILO Jakarta terbaru, tahun 2016, jumlahnya sebesar 4,5 juta PRT.

Sebagaimana kita tahu, sejak 25 September 2015, masyarakat dunia secara resmi berkomitment untuk melaksanakan agenda 2030 untuk pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan (the 2030 Agenda for Sustainable Development atau SDGs) merupakan kesepakatan pembangunan baru yang mendorong perubahan-perubahan yang bergeser ke arah pembangunan berkelanjutan yang berdasarkan hak asasi manusia dan kesetaraan untuk mendorong pembanguann sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup.

Pembicara konferensi pers terkait perlindungan PRT, dari kiri: Ludiah (Divisi Advokasi SPRT), Kahar S. Cahyono (Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia/KSPI), Oky Wiratama (LBH Jakarta), dan Lita Angraeni (JALA PRT).

SDGs diberlakukan dengan prinsip-prinsip universal, integrasi, dan inklusif untuk menyakinkan bahwa tidak akan ada seorang pun terlewatkan atau No-one Left Behind. SDGs terdiri dari 17 tujuan. Dua diantaranya adalah terwujudnya pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi.

Selain itu, janji kampanye Jokowi-JK yang tertuang dalam visi misi resmi yang disampaikan ke KPU dan disarikan dalam Nawa Cita memasukkan UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) di dalam visi misi. Tak hanya itu, pada ari buruh 1 Mei 2014 Jokowi secara langsung menyatakan dukungan untuk disahkannya UU PPRT. Perlindungan bagi pekerja Rumah Tangga juga dicantumkan dalam halaman 23 Nawa Cita, yang berbunyi “Peraturan Perundang-undangan dan langkah-langkah perlindungan bagi semua Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang bekerja di dalam maupun di luar negeri.”

Dalam faktanya, situasi hidup dan kerja PRT sama sekali tidak mencerminkan bahwa PRT menjadi bagian dari Pembangunan Berkelanjutan dan Nawacita itu sendiri.

PRT Indonesia justru semakin terdiskriminasi dan bekerja dalam situasi perbudakan modern dan rentan kekerasan. PRT masih belum diakui sebagai pekerja dan mengalami pelanggaaran atas hak-haknya. Baik sebagai manusia, pekerja, dan warga negara.

Tercatat di dalam negeri sampai dengan Mei 2017, ada 129 kasus kekerasan PRT, seperti pengaduan upah tidak dibayar, PHK menjelang hari raya, dan THR yang tidak dibayar. Jumlah kasus tersebut adalah yang dihimpun berdasar pengaduan dari lapangan pengorganisasian. Dengan kata lain, kasus yang tidak terdata, bisa jadi jauh lebih besar.

Disamping itu, Survery Jaminan Sosial JALA PRT terhadap 4.296 PRT yang diorganisir di 6 kota didapat fakta, bahwa 89% (3.823) PRT tidak mendapatkan Jaminan Kesehatan. 99% (4.253( PRT tidak mendaoatkan hak Jaminan Ketenagakerjaan.

Mayoritas PRT membayar pengobatan sendiri apabila sakit. Termasuk dengan cara berhutang ke majikan dan kemudian dipotong gaji. Meskipun ada program Penerima Bantuan Iuran (PBI) namun PRT mengalami kesulitan untuk bisa mengakses program tersebut, karena tergantung dari aparat lokal untuk dinayatakan sebagai warga miskin. Demikian pula untuk PRT yang bekerja di DKI Jakarta dengan KTP wilayah asal, juga sulit untuk menganses Jaminan Kesehatan.

Ironisnya, dalam catatan pengaduan lapangan, 56 PRT mengalami PHK ketika meminta hak jaminan kesehatan.

Suasana Konferensi Pers terkait perlindungan bagi PRT di LBH Jakarta, Kamis tanggal 15 Juni 2017.

Tidak diakomodirnya PRT dalam UU Ketenagakerjaan menyebabkan PRT tidak memiliki jaminan perlindungan sebagaimana pekerja pada umumnya. Jika pekerja dapat mengadukan permasalahan kepada Disnaker, maka PRT tidak dapat melakukanya. Permasalahaan berheti di tingkatan aparat hukum. Hal ini merupakan bentuk pelanggaran hak asasi mansuia, dimana akses keadilan untuk menempuh upaya hukum tidak disediakan oleh negara.

Dalam hal upah, PRT masih jauh sekali dari perlidungan dengan upah dari sebagai wilayah kota besar: Medan, Lampung, DKI Jakarta, Semarang Yogyakarta, Makassar berkisar 20 – 30% dari UMK. Artinya mayoritas PRT hidup dalam garis kemiskinan dan bahkan tidak bisa mengakes perlindungan sosial dan mendapatkan hak dasar ketenagakerjaan.

Situasi tersebut kontraproduktif dengan program pembangunan berkelanjutan yang dicanangkan oleh pemerintah. Pemerintah dan DPR semakin tidak mempedulikan dan meninggalkan PRT sebagai pekerja dan warga negara yang telah berkontribusi besar dalam roda perekonomian nasional. Sudah 13 tahun RUU PRT di DPR dan Pemerintah belum dibahas. Demikian pula pemerintah tidak bersedia meratifikasi Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak PRT.

Karena itu, kita menuntut agar Rancangan Undang-Undang Perlindungan PRT masuk prioritas prolegnas Tahunan dan segera disahkan menjadi Undang-Undang. Selanjutnya, meminta kepada Presiden RI, Joko Widodo dan DPR RI untuk segera meratifikasi Konvensi ILO No. 189 mengenai Kerja Layak bagi PRT. Hal ini sebagai tindak lanjut sikap politik pemerintah Indonesia yang disampaikan dalam pidato politik Presiden RI dalam sesi ke 100 sidang perburuhan Internasional tanggal 14 Juni 2011, dan pemenuhan janji Nawacita Presiden RI untuk memberikan perlindungan bagi PRT di dalam negeri dan di luar negeri.

Kita juga mendesak pemerintah mengambil langkah-langkah secara institusional, administratif dan juga hukum untuk melindungi dan memberdayakan PRT dan PRT migran Indonesia.

Terakhir, Pemerintah RI dan DPR RI harus mengintergrasikan prinsip-prinsip dalam hak asasi manusia dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, Konvensi Hak Anak dan Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak Seluruh Buruh Migran dan Anggota Keluarganya; Konvensi ILO No. 189 mengenai Kerja Layak PRT dalam penyusunan dan perwujudan peraturan perundang-undangan di tingkat nasionaluntuk PRT yang bekerja di Indonesia dan PRT yang bekerja di luar negeri.

Pos terkait