FIFPro: Klub Sepakbola Harus Tunduk Kepada UU Ketenagakerjaan

Sengketa bisa dibawa ke Pengadilan Hubungan Industrial

Wakil Presiden FIFPro – asosiasi pesepakbola sedunia- Brendan Schwab mengatakan seharusnya pemain dan klub-klub sepakbola Indonesia tunduk kepada aturan ketenagakerjaan yang ada di Indonesia.

Bacaan Lainnya

Brendan menyatakan bila pemain dan klub tunduk kepada aturan ketenagakerjaan, maka persoalan penelantaran hak-hak pesepakbola Indonesia saat ini bisa dieliminir. Ia mengatakan mata sepakbola dunia saat ini sedang tertuju kepada Indonesia.

“Indonesia telah meratifikasi deklarasi ILO (International Labour Organization), jadi selayaknya para pesepakbola di Indonesia berhak untuk mendapatkan perlindungan dari deklarasi ini,” ujar Brendan.

Brendan menyampaikan hal ini dalam International Legal Conference 2014 yang diselenggarakan FIFPro dan Asosiasi Pesepakbola Profesional Indonesia (APPI) di Jakarta, Selasa (6/5). Hal senada juga disampaikan oleh pakar hukum olahraga dari Selandia Baru, Andrew Scott-Howman.

Lebih lanjut, Brendan berpendapat bahwa klub-klub di Indonesia selaku entitas yang mempekerjakan pemain, seharusnya tunduk pada Undang-Undang Ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia.

Tim Legal APPI Riza Hufaida mengatakan pihaknya telah berdiskusi dengan pihak Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) dan para aktivis serikat pekerja. Dalam diskusi tersebut, dicapai kesimpulan bahwa pesepakbola juga berstatus sebagai pekerja.

“Kami mendapat pencerahan yang begitu jelas dan logis, pesepakbola adalah pekerja, karyawan atau buruh berdasarkan UU Ketenagakerjaan,” ujarnya.

Kesimpulan ini tentu menghasilkan implikasi, bila ada sengketa antar pesepakbola dan klub (biasanya mengenai gaji yang tertunggak), maka permasalahan ini bisa diselesaikan di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). “Kita bisa selesaikan kasus-kasus ke depan ke PHI,” ujarnya.

Meski begitu, Riza mengakui bahwa dalam dunia sepakbola (sesuai dengan aturan FIFA), ada mekanisme lembaga penyelesaian sengketa ‘The Dispute Resolution Chamber’ (DRC) di FIFA. Lalu, di masing-masing negara, dibentuk lembaga “turunannya”, National Dispute Resolution Chamber (NDRC).

Sayangnya, lanjut Riza, hingga kini NDRC belum ada di Indonesia. Pembentukan NDRC mengalami kendala karena Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) tidak mengakui keberadaan APPI, tetapi justru mengakui APSI (Asosiasi Pemain Sepakbola Indonesia).

Padahal, FIFPro selaku asosisasi pesepakbola profesional sedunia justru mengakui APPI sebagai asosiasi pesepakbola di Indonesia. Sesuai aturan FIFA, NDRC diisi oleh perwakilan pemain (dari asosiasi yang diakui FIFPro), perwakilan klub, dan pihak netral.

“Prioritas pertama tentu kami ingin menyelesaikan di jalur FIFA. Namun, karena NDRC belum terbentuk, kami harus memikirkan terobosan hukum untuk menyelesaikan persoalan tunggakan gaji pemain, sehingga kami berpendapat PHI bisa digunakan,” ujarnya.

Direktur UNI Global Union Asia Pasifik, Kun Wardana Abiyoto berpendapat senada. Ia memastikan bahwa Direktur Pembinaan Hubungan Industrial PHI Kemenakertrans menegaskan bahwa pesepakbola memang dianggap sebagai pekerja.

Karenanya, pakar hukum tenaga kerja ini menyarankan agar APPI mencatatkan dirinya sebagai serikat pekerja. Tujuannya, agar bila terjadi sengketa antara klub dan pemain, maka APPI bisa dengan leluasa memberikan bantuan hukum kepada pemain.

Lalu, apakah APPI bisa ditetapkan sebagai serikat pekerja, dimana anggotanya adalah individu-individu pemain dari masing-masing klub? Kun menilai hal tersebut bisa dilakukan.

Kun menjelaskan bila APPI sudah terdaftar sebagai serikat pekerja, dan pesepakbola sudah benar-benar ditetapkan sama seperti pekerja, maka UU Ketenagakerjaan sudah bisa diterapkan kepada pemain dan klub dalam dunia sepakbola.

Sebelumnya, Sekretaris Jenderal International Association of Sports Law (IASL) Olga Shevchenko punya pendapat berbeda mengenai hal ini dalam sebuah konferensi di Bali, beberapa waktu lalu. Meski tujuannya sama-sama ingin melindungi pemain, Olga justru menilai bahwa olahragawan atau atlet perlu memilki UU Ketenagakerjaan tersendiri, mengingat profesi mereka yang unik atau berbeda dengan pekerja pada umumnya.

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt53691397064d4/fifpro–klub-sepakbola-harus-tunduk-kepada-uu-ketenagakerjaan

Pos terkait