Diskriminasi Terpampang Jelas Didepan Mata Kita

Jakarta, KPonline – Beberapa waktu yang lalu, kasus kekerasan terhadap aktivis buruh di Indonesia menjadi topik pembahasan utama dalam sidang rutin ILO ke 105 di Jenewa, Swiss. Terkait permasalahan ini, Editorial KP tidak ingin membahas jalannya persidangan tersebut, tapi lebih kepada besarnya tantangan yang dihadapi buruh di Indonesia dalam memperjuangkan hak-haknya. Salah satu yang mencuat, terkait dengan adanya diskriminasi jika kasus itu berkaitan dengan kaum buruh.

Berdasarkan kenyataan dilapangan,  Editorial KP melihat perjuangan para aktivis buruh tidak hanya sebatas perjuangan upah layak, status hubungan kerja, jaminan sosial seperti jaminan kesehatan dan jaminan pensiun, yang kesemua itu bermuara pada perbaikan kesejahteraan. Lebih dari itu, disaat yang sama seorang aktivis buruh juga berjuang menyelamatkan diri dari kondisi-kondisi non kerja yang membahayakan dirinya dan keluarga.

Perjuangan kaum buruh untuk menuntut hak-hak dan kesejahteraan harus diakui tidak pernah lepas dari hambatan. Pun demikian, jelas kondisi menjadi “ironi” jika hambatan yang ditemui sering berupa kekerasan pada dirinya yang dilakukan oleh pemerintah melalui aparat penegak hukumnya maupun oleh “preman-preman” yang dibiayai oleh pengusaha hitam.

Mengapa disebut “ironi”, karena terindikasi kekerasan-kekerasan tersebut mendapat restu dari rezim pemerintah yang berkuasa. Restu diberikan oleh rezim pemerintah ada yang diberikan secara terbuka melalui aparat Kepolisian maupun restu yang diberikan secara diam-diam, manakala pelakon utama kekerasan adalah “preman-preman” berkedok ormas yang dibiayai oleh pengusaha hitam melakukan tindak kekerasan kepada buruh tepat didepan mata aparat Kepolisian, tapi mereka diam seolah tidak terjadi apa-apa.

Ironisnya kekerasan terhadap buruh tersebut terjadi di Indonesia, sebuah Negara yang mengklaim dirinya salah satu Negara demokrasi terbesar didunia, setelah Amerika Serikat.

Ironis, saat aparat Kepolisian terlihat sigap dan tegas dalam menghalang-halangi masa buruh yang ingin menyampaikan aspirasi. Tegas dan sigap menghadapi massa buruh  namun melempem dalam mengahadapi aksi brutal “preman”.

Diskriminasi perlakuan aparat penegak hukum terpampang jelas didepan mata kita. Pelanggaran hak azasi manusia terhadap aktivis buruh di Indonesia ternyata sudah terjadi berulang kali

Undang- Undang no 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1 Ayat 6 menjelaskan : Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang   adil   dan   benar,   berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

Tugas negara adalah untuk melindungi dan memberikan rasa aman serta menjamin pemenuhan hak-hak rakyatnya termasuk buruh. Dengan demikian, Editorial KP melihat semua ini menjadi jelas, mengapa kasus kekerasan yang dialami oleh buruh di Indonesia akhirnya menjadi sorotan dunia.

Editorial KP berharap semoga dimasa depan, Pemerintahan Jokowi-JK dan pemerintah RI selanjutnya, lebih menggunakan hati nurani dan menggunakan pendekatan yang lebih manusiawi dalam menangani aksi-aksi buruh. Kalau tidak, sanksi tegas dunia internasional melalui PBB terhadap Indonesia akan menjadi “makanan kita sehari-hari”. Wallahua’lam bissawab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *