Buruh Dikebiri, Buruh Mencuri

Bogor, KPonline – Siang yang terik di luar Pos Security.

“Jadi sudah berapa kali kamu mencuri barang-barang milik perusahaan? Ini produk terbaru. Kamu tau kan!” Bentak Sang Komandan Security kepada Kosim.

Bacaan Lainnya

“Siapa saja keroco-keroco yang ikut sekongkol sama kamu? Buka saja semuanya. Itu akan meringankan masa tahanan kamu nanti.”

Berbagai pertanyaan dilontarkan oleh Sang Komandan Security kepada Kosim. Wajah Kosim lesu. Lemah tak berdaya. Sejak siang tadi sepertinya tidak ada sesuap nasi pun yang masuk melewati kerongkongannya. Tubuhnya yang kurus ditambah dengan mimik wajah yang pucat pasi, menambah beban derita yang selama ini dia pikul dipundaknya.

“Sekali lagi saya tanya! Siapa saja yang pernah ikut mencuri barang-barang milik perusahaan bersama kamu? Kalau tidak kamu jawab dengan jujur, saya serahkan kamu ke pihak yang berwajib.” Bentakan demi bentakan keluar dari mulut berwajah garang itu.

Kosim hanya diam. Tubuhnya yang lemas karena belum makan, ditambah dengan rasa takut yang terus datang bertubi-tubi menghantam relung hatinya. Dia termangu tanpa mampu menjawab semua pertanyaan Sang Komandan Security. Kosim hanya bisa terngiang-ngiang dengan tumpukan hutang di bank, rentenir, koperasi bahkan hutang-hutang sesama kawan sejawat.

Kosim hanya diam. Karena hanya itulah yang bisa dia lakukan saat ini.

4 bulan yang lalu.

Tinggal bersama mertua yang sudah janda dan sering sakit-sakitan, membuat Kosim harus sering pulang malam. Berharap dalam hati jam lemburnya selalu ditambah oleh Bang Mandor, dengan harapan, mertuanya dapat segera dibawa ke rumah sakit.

Sebagai menantu yang tahu diri dan berkeinginan kuat membantu perekonomian keluarga, Kosim rela menanggung beban hidup yang berat. Sebagai tulang punggung satu-satunya dalam rumah tersebut, Kosim merasa sudah sepantasnya menjadi Kepala Keluarga sekaligus pemikul beban hidup dalam keluarganya.

Ikhtiar dan doa selalu terpanjat ke kehadirat Illahi, puluhan kali ke Puskesmas, klinik hingga rumah sakit, tetap saja tak kunjung bertemu dengan kesembuhan. Tak terhitung waktu, tenaga, pikiran dan tentu saja uang sudah terkuras habis.

Hingga akhirnya, Kosim mengambil jalan pintas menemui Sang Rentenir, dan bermula dari situlah segala kesulitan dan kesusahan yang pada akhirnya menjerat Kosim kepada jeratan riba yang tak kunjung berkesudahan. Pokok hutang yang tak pernah terbayarkan ditambah pula dengan bunga pinjaman yang mencekik leher, membuat Kosim gelap mata yang pada akhirnya…

Kosim hanyalah buruh pabrik biasa seperti kebanyakan buruh yang lainnya. Tidak “neko-neko” dan tidak banyak keinginan. Disaat buruh-buruh lain “berkeinginan” hal yang berbeda dilakukan oleh Kosim. Situasi dan kondisi yang membuat Kosim berbuat “nekat”. Dengan keinginan yang kuat untuk mengobati mertua, segalanya resiko dan pertanggungjawaban sudah direncanakan dengan matang.

Yaa.. “kebutuhan” adalah sesuatu yang sebenarnya sangat manusiawi. Dan karena “kebutuhan” yang sangat mendesak, menjadikan Kosim pribadi yang berbeda. Bahkan, jika karena “kebutuhan yang mendesak”, sosok pribadi yang tadinya baik dan santun pun, akan berubah menjadi tidak baik dan ganas.

24 tahun masa kerja selama ini tiba-tiba saja “dihilangkan” oleh pemilik perusahaan. 24 tahun pengabdian selama ini tiba-tiba saja “dilupakan” oleh Management Perusahaan.

Kosim pun hanya bisa diam tanpa mampu berkata-kata. Golongan yang tak kunjung naik sejak 8 tahun yang lalu, mengakibatkan kenaikan upah pokok Kosim tersendat dan tersandung. Promosi Jabatan atas 24 tahun pengabdiannya selama ini dikandaskan oleh Management Perusahaan. Jam kerja dan jam lembur yang terus meningkat berkepanjangan membuat otak dan kreatifitas Kosim semakin lemah.

Upah yang minim dan tunjangan yang tidak jelas jelas menjadi salah satu pemicu kemerosotan moral Kosim. Dan sampai disini kita pun masih saja diam. Upah buruh masih berada dalam cengkeraman lingkaran setan yang terus berputar disitu-situ saja. Kenapa tidak dirubah saja “cara berpikir” Management Perusahaan ketika membicarakan tentang upah. Naikkan upah dan turunkan jam lembur, dan tentu saja diiringi dengan peningkatan produktivitas yang signifikan, maka sepertinya, tidak akan ada Kosim-Kosim yang berikutnya.

Siapakah yang terlebih dahulu salah dalam hal ini? Kosim yang mencuri atau Management Perusahaan yang sudah “mengebiri” upah Kosim bertahun-tahun lamanya? Ataukah ini hanyalah takdir semata? Mari kita pikirkan sambil menyeruput kopi buatan Denny Siregar dan membakar rokok kretek buatan lokal.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *