Berjejal di Gerbong Kereta

Jakarta, KPonline – Jarum jam menunjuk pukul 17.00 ketika Ari tiba di stasiun Cawang, Jakarta. Dari stasiun ini, dia akan melanjutkan Tangerang menggunakan commuter line. Untuk kemudian pulang ke rumah, di Cimone.

Sebelum ke Tangerang, Ari terlebih dahulu harus transit di stasiun Duri. Di tempat ini dia menjalankan ibadah shalat Magrib, sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan.

Sudah lebih dari 5 tahun, bapak satu anak ini menggunakan jasa commuter line.

Meski semakin baik, tetapi Ari mengeluhkan padatnya kereta saat jam-jam sibuk. Tak jarang, dari Cawang dia berdiri hingga Tangerang karena tak ada tempat duduk.

“Masalahnya adalah kalau sedang kurang fit. Karena kan tidak setiap hari kita sehat,” keluhnya.

Setiap hari Ari harus berangkat pagi agar jam 8 sudah tiba di kantor. Sore hari, saat pikiran dan fisik sudah terkuras, sangat menjengkelkan jika harus berdiri.

Mereka yang hendak turun dari kereta, mendorong orang di depannya ke arah luar. Mereka yang akan naik, mendorong orang di pintu kereta –yang hendak turun– kembali ke dalam gerbong. Kadang aksi saling dorong terjadi. Kacau-balau.

Ramainya penumpang Commuter Line disaat jam-jam sibuk. (Foto: CNN Indonesia)

Sore itu saya satu kereta dengan Ari. Saya naik terlebih dahulu, dari Duren Kalibata, dan berdiri di sampingnya. Setelah saling pandang, kamudian kami ngobrol tentang kereta yang sore itu penuh sesak. Dia banyak bercerita tentang kisah perjalanannya, pulang pergi Tangerang Jakarta selama beberapa tahun ini.

Commuter line menjadi pilihan. Menurutnya, karena bebas macet. Apalagi jalan tol, saat ini, tak seindah yang dijanjikan: bebas hambatan.

Murah? Nanti dulu. Jika dihitung dari stasiun awal ke stasiun tujuan bisa jadi memang murah. Tetapi bagi Ari, yang rumahnya relatif jauh dari stasiun, akumulasinya akan tetap besar.

Ari harus naik motor sendiri untuk ke stasiun. Untuk itu, dia harus membayar parkir sebesar 8 ribu. Ongkos dari Tangerang ke Cawang sendiri hanya 4 ribu.

Dalam sehari, dia harus merogoh kocek tak kurang dari 16 ribu. Ini belum termasuk untuk bensin. Jika diakumulasikan, dalam sehari menghabiskan tak kurang dari 20 ribu hanya untuk transportasi. Belum untuk makan di tempat kerja.

Angka-angka ini, bagi Ari punya makna sendiri. Terlebih lagi ketika beberapa waktu lalu harus membayat listrik lebuh mahal akibat subsidi dicabut. Ia dan keluarganya, harus lebih menggencangkan ikat pinggang.

Ari bisa paham jika banyak orang memilih membeli motor sendiri. Baginya, hal ini karena angkutan umum masih belum menjawab permasalahan transportasi. Dan selama pola pikir masyarakat masih seperti ini, semakin menjauhi moda transportasi umum, jangan harap kacetan akan menemukan solusi.

Saat menyelesaikan tulisan ini, saya ingat cerita Anggi Kusumadewi di CNN Indonesia. Melihat kondisi jalanan di Jakarta yang ampun-ampunan, dengan kemacetan abadi membayangi, Anggi kemudian membandingkan dengan angkutan umum di ibu kota negara tetangga, Kuala Lumpur.

Pelayanan transportasi publik di KL –sebutan Kuala Lumpur– terintegrasi dengan baik. Di kota itu, angkutan berbasis rel terbagi menjadi LRT (light rapid transit), Monorail Line, KTM Komuter, dan KLIA Ekspres yang menghubungkan Bandara Internasional Kuala Lumpur dengan pusat kota.

Seluruh moda transportasi di KL itu beroperasi di lintasan berbeda, namun terhubung satu sama lain. Satu daerah bisa dilintasi dua sampai tiga moda transportasi sekaligus, sehingga masyarakat bisa memilih angkutan yang paling cocok dan cepat menuju lokasi yang dituju.

Selain itu, penumpang dapat pindah dari satu moda transportasi ke yang lainnya dengan mudah. Stasiun kereta dan terminal bus pun tersambung. Semua serbarapi.

Angkutan umum ramah semacam itu juga terlihat di Singapura, Bangkok, Tokyo, hingga Beijing. Bangkok, ibu kota Thailand yang dulu semacet Jakarta, kini bergerak cepat membenahi sistem trasportasi publiknya.

Sementara di Beijing, manusia-manusia tak hanya ramai melintas di atas tanah. Mereka juga memadati stasiun-stasiun kereta cepat di bawah tanah yang menghubungkan Beijing dengan kota-kota lain di dataran China. Shanghai, kota terpadat di China, memiliki stasiun kereta supersibuk yang tersambung langsung dengan bandara, bahkan berdiri persis di samping bandara.

Transportasi publik terintegrasi, dengan kenyamanan, keamanan, dan ketepatan waktu yang terjamin, tentu juga jadi impian warga Jakarta dan wilayah sekitarnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *