Bambang Widjojanto: “Kalau Buruh Berjuang Dikriminalisasi, Saluran Apa Lagi Untuk Menyampaikan Aspirasi?”

Salah satu kuasa hukum 26 aktivis, Bambang Widjojanto, mengenakan baju bertuliskan 'Bring Back Justice' di PN Jakarta Pusat.
Salah satu kuasa hukum 26 aktivis, Bambang Widjojanto, mengenakan baju bertuliskan ‘Bring Back Justice’ di PN Jakarta Pusat. | Foto: Kascey

Jakarta, KPonline – Dalam sidang perdana 26 aktivis di PN Jakarta Pusat, Senin (21/3/2016), nampak hadir Bambang Widjajanto. Mantan Wakil Ketua KPK ini juga menjadi salah salah satu pengacara yang ikut membela 26 aktivis yang dikriminalisasi. Disebutkan, sebanyak 70 orang advokat/pengacara membela para aktivis ini. Mereka tergabung dalam Tim Advokasi Untuk Buruh dan Rakyat (TABUR) Tolak PP Pengupahan.

Menurut Bambang, permasalahan ini bermuara pada dua hal. Pertama, mengenai advokat yang dikriminalisasi saat sedang memberikan bantuan hukum. Kedua, soal kebebasan berekspresi atau menyatakan pendapat di muka umum.

Bacaan Lainnya

“Memang, ada pengacara yang dibawa ke pengadilan karena melawan hukum. Tetapi pengacara yang diajukan ke pengadilan karena menjalankan tugasnya sebagai profesi, setelah era reformasi baru kali ini terjadi,” kata Bambang.

Karena itu, menurut Bambang, harus ada koreksi. Ini ngeri sekali. Dimana suasana seperti ini mirip seperti yang terjadi pada masa Orde Baru. Setelah puluhan tahun tidak pernah terjadi, saat ini kembali terjadi. Padahal, pengacara dan polisi adalah sama-sama penegak hukum. Pengacara publik yang sedang mendampingi buruh dalam demontrasi, bagian dari tugas yang dia lakukan untuk melakukan penegakan hukum. Kira-kira sama dengan polisi lah, yang sedang bertugas mengamankan demo saat ini. Lalu tiba-tiba pengacara publik ditangkap. Apa maksudnya?

“Ini mengerikan. Pengacara publik dinista, dihina dengan dianiaya dan ditangkap ketika menjalankan profesinya.” Kata Bambang.

Menurutnya, ada kemungkinan maksud mengkriminalkan kedua orang LBH adalah untuk  menghilangkan dokumentasi kekerasan yang dilakukan polisi saat membubarkan massa aksi. Apalagi, kedua orang LBH Jakarta ini ditangkap saat sedang mendokumentasikan proses pembubaran massa aksi di depan Istana.

Logikanya sederhananya, kedua orang LBH Jakarta itu tidak ditangkap saat sedang mendokumentasikan perbuatan polisi yang dengan kekerasan membubarkan massa aksi. Hasil dokumentasi itu dirampas. Dihilangkan. Kemudian orangnya ditangkap dan kini menjadi terdakwa.

“Mereka menyalahgunakan wewenang untuk menutupi kesalahannya saat menjalankan tugas.”

Hal lain, masalah kebebasan menyampaikan pendapat. Padahal ini adalah hak yang sangat fundamental.

“Saat ini yang dimiliki buruh hanyalah kehormatan untuk berjuang,” tegas Bambang.

“Gajinya hancur-hancuran betul,” demikian dia menambahkan. Setetelah terdiam beberapa saat, dengan nada marah dia mengatakan. “Kalau buruh berjuang kemudian dikriminalisasi. Lalu saluran apa lagi yang akan dipakai untuk menyalurkan aspirasi?”

Padahal demonstrasi adalah hak yang dijamin konstitusi. Tidak mungkin buruh angkat senjata untuk melawan negara. Sudahlah upahnya murah, tidak ada kejelasan masa depan akibat sistem outsourcing dan kontrak yang menggurita, ketika menyampaikan aspirasi justru dikriminalisasi.

Mengingat ini adalah ruang pengadilan, Bambang berharap akan ada keleluasaan untuk memberjuangan keadilan yang lebih luas. Persidangan harus menjadi momentum penting untuk kembali mengembalikan hukum yang berpijak pada daulat rakyat dan kemanusiaan. (*)

Pos terkait