Bagaimana Grebek Pabrik Bermula?

Jakarta, KPonline – Ini bulan Mei. Lima tahun lalu, tepatnya tahun 2012, terjadi apa yang disebut sebagai grebek pabrik bermula. Banyak orang memiliki cerita tentang aksi yang heroik ini. Tetapi tidak banyak yang tahu, bagaimana sesungguhnya gerakan itu bermula.

Awalnya adalah PHK besar-besaran yang terjadi di PT Hero, Cibitung Bekasi. Ketika itu, buruh outsourcing di perusahaan tersebut banyak yang di PHK. Diantara buruh yang di PHK adalah tetangga salah satu aktivis FSPMI Bekasi. Sebut saja, Oji. Mendapat cerita dari tetangganya, Oji meminta agar ia mengumpulkan teman-temannya yang di PHK untuk melakukan konsolidasi.

Dalam pertemuan pertama, terkumpul belasan orang.  Setelah mendapatkan penjelasan tentang pentingnya persatuan dan posisi hukum buruh outsourcing di perusahaan tersebut, yang demi hukum menjadi karyawan tetap, konsolidasi diperbesar. Ada ratusan orang buruh yang siap melakukan perlawanan.

Pimpinan Cabang SPAI FSPMI Bekasi kemudian mencatatkan buruh outsourcing di PT Hero sebagai anggotanya. Padahal, saat itu, belum lazim buruh outsourcing berserikat. Pimpinan FSPMI mencatatkan ke Disnaker Bekasi sebagai PUK SPAI FSPMI PT Hero, perusahaan penyedia pekerjaan. Bukan sebagai pekerja di perusahaan penyedia jasa tenaga kerja. Argumentasinya, karena ada pelanggaran terhadap ketentuan mengenai outsourcing, maka buruh dari perusahaan penyedia jasa tenaga kerja berubah menjadi pekerja di perusahaan pemberi kerja. Pola ini kemudian digunakan ketika grebek pabrik meluas.

Tahap selanjutnya, FSPMI melakukan aksi sampai ke PT Hero Pusat, Jakarta, pada 22 sampai 23 Mei 2012. Aksi juga dilakukan di di Disnakertrans Bekasi untuk menuntut dikeluarkannya Nota Dinas hingga Kemenakertrans untuk menghapus outsourcing.

Nota Dinas akhirnya dikeluarkan. Isinya agar PT Hero mempekerjakan kembali buruh yang di PHK sebagai karyawan tetap. Tetapi pihak manajemen tidak mematuhinya. Merasa sudah buntuk, FSPMI bersolidaritas melakukan aksi ke PT Hero. Mereka melakukan blokade gudang, hingga barang tidak bisa keluar-masuk. Aksi tersebut berlangsung sampai malam hari hingga dipenuhinya tuntutan buruh.

Kemenangan buruh Hero itulah yang kemudian menginspirasi FSPMI dan serikat buruh yang lain untuk menggunakan cara yang sama dalam menangani outsourcing.

* * *

Di bulan yang sama, 1 Mei 2012, Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) dikukuhkan. Saat itu kurang lebih seratus ribu buruh berkumpul di Gelora Bung Karno. MPBI digagas sebagai payung gerakan buruh Indonesia, dimana Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menjadi salah satu pelopornya. Bicara tentang KSPI, tentu saja, FSPMI menjadi salah satu elemen yang tidak bisa pisahkan. Terbentuknya MPBI adalah kesadaran yang tumbuh pasca kemenangan Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS) dalam memperjuangkan reformasi jaminan sosial di Indonesia.

Adapun isu utama perjuangan MPBI adalah HOSTUM. Ini istilah untuk menyebut Hapus Outsourcing dan Tolak Upah Murah. Penyebutan HOSTUM sendiri merupakan bagian dari strategi yang jitu. Kata-kata itu memiliki energi yang menggerakkan dan mudah diingat. Hal yang sama ketika Soekarno pernah menggunakan istilah semacam Jas Merah (jangan lupakan sejarah) dan Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komunisme). Di berbagai daerah, gerakan HOSTUM menjadi sangat terkenal.

Grebek pabrik, tentu saja, tidak terjadi dengan sendirinya. Dia digerakkan oleh organisasi serikat pekerja. Membutuhkan serikat pekerja yang memiliki kapasitas untuk melakukan mobilisasi. Ada pembekalan yang dilakukan, tim perunding yang disiapkan, juga mobil komando yang selalu diikuti pergerakan massa. Pemilihan pabrik mana yang akan digrebek juga ditentukan dengan berbagai pertimbangan. Bukan asal grebek. Hal ini menunjukkan ada skenario dari serikat.

Pada massa ini, ada serikat yang jumlah anggotanya meningkat pesat — ada juga yang berkurang karena anggotanya pindah ke serikat yang memiliki kemampuan untuk melakukan metode grebek pabrik tersebut. Dengan demikian, menihilkan peran pimpinan dan serikat buruh dalam aksi grebek pabrik adalah sesutau yang keliru.

Di pabrik yang belum memiliki serikat, mereka menghubungi serikat buruh tertentu untuk meminta bantuan. Setelah itu mereka akan diminta melakukan konsolidasi, berdiskusi, dan mendapatkan pengetahuan-pengetahuan mendasar mengenai hukum ketenagakerjaan terutama terkait dengan buruh outsourcing, hak-hak normatif, tentang serikat buruh. Di FSPMI, misalnya, ketika ada buruh yang minta pabriknya di grebek, mereka diminta terlebih dahulu melakukan konsolidasi yang melibatkan sebagian besar buruh di perusahaan itu. Setelah konsolidasi, kemudian dikukuhkan sebagai anggota dan kemudian dicatatkan ke Disnaker. Setelah tercatat, mereka kemudian mengajukan permintaan perundingan agar buruh outsourcing diangkat menjadi karyawan tetap. Ketika proses perundingan menemui jalan buntu, saat itulah pengurus serikat menghubungi perangkat di atasnya untuk meminta bantuan aksi grebek pabrik.

* * *

Pasca itu, grebek pabrik dibenturkan dengan preman-preman bayaran. Bahkan mereka menggunakan senjata tajam dan tak segan melukai buruh. Memang, kita bisa bersatu dan melawan balik. Tetapi para preman itu masuk ke pabrik-pabrik, beberapa menjadi satpam di perusahaan, mendatangi rumah-rumah dan kontrakan buruh. Meneror keluarga. Preman-preman di dalam pabrik dan mendatangi rumah-rumah inilah yang sulit di kontrol.

Buruh tetap melawan, tentu saja. Tahun 2013, mogok nasional dilakukan. Kita tahu, hari itu Bekasi berdarah. Puluhan buruh tumbang akibat sabetan benda tajam dan mendapatkan berbagai bentuk kekerasan.

Apakah buruh Bekasi menyerah? Tidak. Kita bisa melihat, pemogokan kembali dilakukan. Atas nama objek vital, gerakan ini di bubarkan. Anggota DPRD Bekasi yang juga aktivis buruh, Nurdin, bahkan sempat ditangkap. Tutup tol sempat kembali dilakukan, meskipun gagal. Mobil komando yang salah satunya didatangkan dari Purwakarta bahkan sempat di tahan.

Bila ada yang mengatakan, serangan negara (aparat dan birokrasi) serta preman bukan maslah atau penyebab pokoknya, barangkali karena mereka hanya melihat dari layar kaca. Seperti kita membodoh-bodohkan pemain bola yang gagal mencetal goal melalui tendangan penalti tanpa tahu apa yang sesungguhnya terjadi di lapangan. Pokoknya yang lain salah. Dirinya sendiri yang benar.

Bagaimana mungkin aksi-aksi yang dibenturkan dengan preman, dan terakhir dibubarkan paksa oleh aparat keamanan karena kawasan industri dijadikan objek vital, bukan dianggap sebagai masalah? Barangkali memang bukan masalah bagi mereka. Sebab ketika buruh-buruh Bekasi yang sedang aksi dibubarkan dan dipukuli, mereka tengah asyik melihat dari layar kaca.