ASPEK Indonesia Sebut GNNT Bisnis Ala Kompeni

Jakarta, KPonline – Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia) menyayangkan sikap yang ditunjukkan oleh Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo terkait dengan ijin bagi perbankan untuk memungut biaya isi saldo uang elektronik agar perbankan dapat memenuhi kebutuhan infrastruktur alat bayar nontunai.

Sikap Gubernur BI ini hanya semakin menegaskan bahwa Bank Indonesia dan Pemerintah hanya mementingkan kepentingan bisnis perbankan tanpa mau tahu dengan hak-hak rakyat.

Menurut ASPEK Indonesia, Restu BI bagi bank untuk bisa memungut dana lebih dari masyarakat jelas merugikan masyarakat umum. Ini bukti bahwa Negara tunduk pada kepentingan pengusaha!

Ketika bank ingin memiliki infrastruktur pembayaran nontunai, kemudian BI mencanangkan Gerakan Nasional Non Tunai.

“Pertanyaannya, jika perbankan tidak mampu menyediakan infrastruktur nontunai, mengapa Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) dicanangkan oleh BI, dan diwajibkan bahkan sampai memaksakan ke pemerintah daerah?” Demikian disampaikan Presiden ASPEK Indonesia Mirah Sumirat dalam keterangan tertulisnya, Minggu (17/09/2017).

Di kesempatan yang sama, Mirah Sumirat juga menyampaikan kekecewaannya pada Bank Indonesia melalui sosialisasi GNNT, sehingga berimbas pada pemberlakuan Gardu Tol Otomatis (GTO) yang akan dipaksakan oleh BI dan Jasa Marga pada Oktober 2017.

Dia mengingatkan masyarakat bahwa ada potensi dana mengendap triliunan rupiah dari GNNT dan GTO yang hanya akan menguntungkan perusahaan perbankan. Contoh saat masyarakat yang akan masuk jalan tol dan diwajibkan untuk membayar dengan menggunakan e-toll.

Saat pembelian kartu e-toll, kerugian pertama adalah dari potongan uang kartu sebesar Rp.10.000 – 20.000. Pengguna jalan sudah “dipaksa setor” ke bank atas nama biaya kartu.

Kerugian kedua, adalah dana mengendap triliunan rupiah yang juga “dipaksa setor” pengguna jalan yang tidak setiap hari menggunakan jalan tol.

Kerugian ketiga, potensi triliunan rupiah yang akan digarap bank dari selisih saldo minimal dengan tarif tol terendah. Jika tarif tol terendah adalah Rp.10.000 maka jika saldo tersisa anda di bawah Rp.10.000 sudah dipastikan sisa saldo itu tidak akan pernah bisa dimanfaatkan oleh pemilik kartu dan akan “diambil menjadi milik” bank.

Kerugian keempat, masyarakat dibebani biaya setiap isi ulang saldo e-toll karena bank ingin “belanja” mesin nontunai, yang dikemas atas nama biaya administrasi.

Mirah juga mengingatkan masyarakat bahwa GNNT akan menyasar pada transaksi kebutuhan dasar masyarakat yang lainnya, seperti pembelian bahan bakar minyak (BBM) dimana PT Pertamina juga akan mewajibkan pembelian BBM hanya dengan nontunai. Tidak saja pengemudi mobil namun juga akan berdampak langsung pada pengendara motor yang jumlahnya puluhan juta.

Pengendara motor yang selama ini bisa membeli bensin secukupnya dengan uang tunai Rp.10.000, harus juga “dipaksa setor” dan mengendapkan dananya di bank untuk keuntungan pihak bank.

Lantas dimana keuntungannya buat masyarakat? Dimana perlindungan hak konsumen jika konsumen tidak lagi bisa menggunakan uang tunai rupiah dan dipaksa nontunai? tanya Mirah Sumirat.

Terkait dengan itu, Mirah mengatakan, bahwa hal ini merupakan praktek bisnis ala “kompeni”. Masyarakat “dipaksa untuk setor” dana ke perusahaan seperti layaknya upeti di jaman penjajahan dulu.

“Ini adalah penjajahan model baru berkedok teknologi dan investasi,” ungkap Mirah.

Bedanya, dulu penjajah asing datang dengan tentara dan misi dagang perusahaan. Saat ini terbukti rakyat masih “dijajah” oleh “misi dagang lokal dan asing” yang didukung oleh Pemerintah yang berkuasa.

ASPEK Indonesia telah memberikan solusi yaitu setiap gardu tol harus tetap mempekerjakan manusia dan harus bisa menerima pembayaran tunai dan non tunai. Biar masyarakat yang memilih, sehingga rupiah tetap menjadi alat pembayaran yang sah, hak konsumen terlindungi dan PHK massal dapat terhindari. Di situlah seharusnya Negara mengambil peran untuk menjamin kehidupan yang layak bagi setiap warga negara Indonesia, pungkas Mirah Sumirat.