Antara Gorong-Gorong Dengan Keutuhan Bangsa, Lebih Penting Mana?

Jakarta,KPonline – Saya ingin mengutip sahabat saya Jansen Sitindaon yang selama ini aktif menulis artikel-artikel kepublik sebagai pencerahan, tadi malam saat sebuah diskusi dengan logat khas Bataknya yang kental menyatakan : “Lampu Republik ini hampir padam, harinya sudah senja dan menjelang malam.” Pernyataan tersebut terlontar dan mengalir deras melihat situasi sekarang diantara perang Lilin dengan Obor yang keduanya adalah simbol penerangan alternatif dan penerangan tradisional.

Ada makna yang sarat yang saya dapati dari ungkapan tersebut. Saya mencoba menggunakan nalar saya untuk mengartikan kalimat pendek itu bahwa bangsa ini sedang kehilangan pemimpin, bangsa ini sedang kehilangan cahaya dan bahkan menuju kegelapan. Sementara para pemimpin pemegang pelita bangsa menghilang entah kemana seolah sedang tidak perduli dengan apa yang terjadi atau mungkin merasa semua baik-baik saja dan tidak ada masalah

Bacaan Lainnya

Memang tergantung kapasitas pemahaman dan cara pandang setiap orang untuk menyikapi keadaan ini. Namun bagi kami, saya sepakat bahwa saat ini bangsa kita sedang kritis dan berada diujung bibir kegelapan kebangsaan.

Ketika bangsa ini sedang berada dijalur menuju bangsa yang besar dengan capaian-capaian dan jalan yang disiapkan oleh pemerintahan sebelumnya, tiba-tiba bangsa ini masuk kedalam sebuah situasi yang sangat tidak baik. Kegaduhan demi kegaduhan tidak henti-hentinya terjadi sejak rejim Jokowi berkuasa. Kegaduhan internal yang berlangsung sejak awal kabinet, kemudian berubah sekarang menjadi kegaduhan diluar dan ditengah publik. Kegaduhan yang tidak seharusnya timbul andai jika kepemimpinan Jokowi tidak lemah, andai kepemimpinan Jokowi serius menyikapi masalah secara benar dan tepat. Dan tentu kegaduhan ini tidak akan terjadi andai para elit bangsa tidak saling sikut, tidak saling sepak dan tidak saling merasa satu dengan yang lain sebagai lawan politik dan lawan bisnis, serta tidak merasa yang lain bakal menjadi kompetitor politik 2019 nanti.

Elit bangsa kita kehilangan pelita dan kehilangan sikap negarawan. Ketidak akuran atau bahkan perbedaan sikap antara Presiden dan Wakil Presiden tentu bukanlah sesuatu hal yang main-main dan bisa disepelekan begitu saja. Perbedaan sikap yang menuju polarisasi perpecahan kepemimpinan itu tentu akan sangat berimbas secara politik ditengah publik. Elit yang berkuasa dan para elit Partai pendukung pemerintah juga tidak memberikan kontribusi positif menjadi pelindung dan menjadi pengayom seluruh komponen bangsa, namun menarik garis perbedaan dan permusuhan dengan pihak ekit politik yang berbeda sikap. Merasa benar sendiri dan tidak mau mendengar yang lain. Itulah pangkal masalah semua kegaduhan bangsa ini yang kemudian terkormirmasi dengan lemahnya kepemimpinan Presiden Jokowi yang tidak kunjung bisa menjadi pemimpin bagi semua kelompok, semua golongan dan semua elit.

Situasi dan kondisi politik, ekonomi dan keamanan yang tidak kunjung membaik kini justru menuju arah berbalik dari harapan untuk berkembang. Berbalik menuju arah mundur dari impian untuk meroket keatas. Pasti ada yang salah dan tidak beres dari semua ini. Mungkin salah satunya adalah Presiden harus merubah cara-cara mengelola negara ini.

Mengembalikan institusi negara kepada fungsinya dan menghindari orang-orang politik dari pucuk pimpinan lembaga penegakan hukum dan lembaga intelijen negara. Betapa malunya bangsa ini ketika menjadi sebuah anekdot ditengah publik, meski hanya untuk sekedar canda politik, keluar ungkapan-ungkapan yang mendegradasi institusi negara seperti yang ada kawasan di Blok M, di Trunojoyo dan di kawasan Pejaten Kalibata disebut sebagai Dewan Pimpinan Cabang Partai Politik tertentu. Ini canda politik yang harus dimaknai serius oleh Presiden karena tentu bermana negatif.

Polarisasi kian menjurus kepada dua kubu yang sangat mungkin terjadi benturan. Polarisasi bersumbu pada Agama dan Etnis tertentu akan sangat mudah menjadi bahan bakar yang siap menghanguskan semua kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Adakah kita menginginkan pertumpahan darah sebagai sesama anak bangsa yang selalu teriak lantang cinta NKRI, cinta Pancasila? Mulut dan lidah bermanis-manis mengucapkan cinta NKRI, Pancasila dan cinta Kebinekaan, namun tangan kita semua saling menghunus pedang dan memegang api yang siap membakar. Itukah kita sekarang? Seperti itukah anak-anak bangsa ini sekarang?

Polarisasi gerakan lilin dan obor semakin menuju perpecahan. Gerakan-gerakan yang justru tidak perlu dan berpotensi meluluh lantahkan bangsa ini. Tidak bisakah kita menghormati negara ini? Tidak bisakah kita menghormati penegakan hukum yang dilakukan oleh negara yang diwakili pemerintah?Negaralah yang mendakwa dan menuntut Ahok, Negara jugalah yang menghukum Ahok atas kekuasaan Yudikatif, Negara jugalah yang mengeksekusi perintah hukum.

Lantas mengapa pemerintah juga seperti tidak menerima hasil dari kewajiban negara yang dikerjakannya? Oknum dalam pemimpin institusi Kejaksaan patut diduga sepertinya menunjukkan sikap tidak menerima putusan pengadilan terhadap Ahok, padahal Polri yang menetapkan Ahok sebagai Tersangka dan Kejaksaan yang mendakwa dan menuntutnya atas nama negara. Lantas, wajarkah sikap itu? Sementara disisi lain dari pihak yang berseberangan dengan Ahok juga harus saya nyatakan berlebihan dalam euforia kegembiraan menyambut vonis Ahok. Hingga kubu yang berbeda saling berhadap-hadapan dengan paham yang berbeda.

Saat ini adalah era dimana hitungan jam eskalasi perubahan politik dan keamanan berubah dengan sangat cepat. Aksi dibalas aksi hanya akan berujung pada perpecahan. Hunusan pedang akan dibalas hunusan pedang, caci maki akan berbalas caci maki, lantas dimana letak kecintaan kita kepada NKRI dan Pancasila serta Kebhinekaan itu? Ataukah itu cuma dimulut saja tanpa tindakan? Kita semua telah membawa bangsa ini kedalam jurang petaka yang hanya akan berujung pada kematian bangsa ini.* inikah yang kita inginkan? Jika anda menjawab ya, maka siapapun anda akan berhadapan dengan kami anak bangsa yang tidak akan membiarkan bangsa ini tercabik sedikitpun. TNI masih berdiri tegap meski sekarang agak belum bersikap secara tegas, namun TNI kami yakini tidak akan biarkan negeri ini terkoyak oleh apapun, termasuk oleh kepentingan politik presiden yang secara konstitusi adalah pemegang kekuasaan tertinggi TNI.

Pertanyaan paling besar salah satunya saat ini adalah, DIMANAKAH PRESIDEN SAAT INI? MENGAPA TIDAK KUNJUNG MENEMPUH LANGKAH TEGAS DAN BIJAK UNTUK MENGAKHIRI SEMUA KONFLIK INI?

Saya teringat dalam perjalanan politik presiden Jokowi yang bahkan berkali-kali mendatangi gorong-gorong, masuk ke got dan meneriksa serta memastikan got tersebut baik-baik dan berfungsi. Begitu pentingnya gorong-gorong itu bagi Jokowi hingga harus didatangi dan diamati serta diperiksa secara detil.Lantas saya mencoba menarik garis kata PENTING itu kedalam situasi bangsa saat ini, dimana polarisasi semakin terkutub antara mayoritas minoritas, pribumi non pribumi, sumbunya Agama dan Etnis, namun Presiden tidak kunjung angkat bicara, presiden tidak kunjung turun menyelesaikan masalah dengan serius, presiden belum terlihat melakukan sesuatu padahal melakukan sesuatu jauh lebih berguna daripada tidak melakukan sesuatu.

Presiden bahkan memilih pamer kemampuan naik motor trail di Papua dan pamer foto di Mesjid tua di Cina. Foto di Mesjid tua itu memang pesan bisu kepada para pendukung Ahok, bahwa Jokowi akan memilih sikap berada dipihak yang menguntungkannya secara politik yaitu meninggalkan dukungannya kepada Ahok.

Di akhir artikel ini, bukan tentang Ahok atau motor trail serta foto di Mesjid tua itu yang jadi bahasan, namun adalah lebih penting mana sesungguhnya gorong-gorong bagi Jokowi dan sejauh apa pentingnya keutuhan dan persatuan bangsa bagi Jokowi? Gorong-gorong yang diam bisu saja dikunjungi berkali-kali, lantas mengapa Presiden Jokowi belum juga turun mengatasi masalah bangsa dengan ancaman perpecahan ini? Lebih penting kah gorong-gorong bagimu Pak Presiden?

Jakarta, 16 Mei 2017

Ferdinand Hutahaean*
_________________________
*Aktivis Rumah Amanah Rakyat

Pos terkait