5 Dampak Buruk Pencabutan Subsidi Listrik Ini Seharusnya Tidak Terjadi, Jika Pemerintah Tak Mengambil Jalan Pintas Untuk Menghemat Anggaran

Jakarta, KPonline – Kebijakan pemerintah mencabut subsidi tarif listrik dipermasalahkan banyak pihak. Meskipun pemerintah mengklaim hal ini dilakukan demi “kebijakan subsidi berkeadilan”, namun tetap saja, masyarakat harus membayar lebih mahal dari biasanya. Itu artinya, masyarakat yang tadinya bisa membelanjakan uangnya lebih besar untuk makan, misalnya, kini harus digunakan untuk membayar listrik.

Oleh karena itu, pemerintah harus melakukan evaluasi terhadap kebijakan pemotongan anggaran yang berdampak pada dicabutnya subsidi. Jika hal ini tidak dilakukan, masyarakat bisa semakin sengsara.

Bacaan Lainnya

Pencabutan subsidi listrik berdampak pada merosotnya daya beli masyarakat. Hal ini terlihat dari menurunnya penjualan selama lebaran.

Hal ini disampaikan ekonom senior Rizal Ramli. Menurut Rizal, dengan pemotongan anggaran itu, maka otomatis daya beli masyarakat akan melemah. Ekonomi justru tidak akan bertambah maju. Sebab di sisi lain pembayaran pajak naik termasuk kenaikan tarif dasar listrik. Kebijakan ini menambah beban rakyat miskin yang tidak lagi punya daya beli.

Apabila daya beli masyarakat lemah, maka ekonomi tidak bisa berjalan dengan baik. Rizal Ramli mencontohkan, pada lebaran ini dirinya sempat berkunjung ke Pasar Tanah Abang. Disana, penjualan hanya mencapai 20 persen jauh dibanding lebaran tahun kemarin. Hal yang sama juga disampaikan Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani, yang mengatakan lebaran tahun ini hampir seluruh penjualan produk menurun.

Pencabutan subsidi listrik memukul pelaku usaha mikro kecil. Padahal mereka masuk dalam kelompok masyarakat yang tidak berhak mendapatkan subsidi.

Dampak kenaikan dasar listrik bagi pelaku usaha mokro kecil disampaikan oleh Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati. Menurut Enny, UMKM terpukul akibat kebijakan ini. Sebab mereka adalah salah satu yang tidak lagi berhak mendapatkan subsidi. Disaat yang sama, struktur ekonomi mereka masih belum begitu kuat.

Untuk menutup kenaikan tarif, hal yang dilakukan adalah menaikkan harga jual. Celakannya, daya beli masyarakat juga sedang turun.

Harus diakui, perubahan tarif listrik terjadi kala kondisi konsumsi rumah tangga dan daya beli masyarakat dalam posisi tertekan. Hal ini tergambar dari pertumbuhan konsumsi 4,9 persen di triwulan pertama, dari biasanya 5,3 persen.

Pencabutan subsidi listrik mempengaruhi hasrat investor berinvestasi

Biaya produksi yang harus ditanggung investor semakin meningkat. Akibatnya, upaya pemerintah memperluas dan meningkatkan penyerapan tenaga kerja akan semakin terhambat (Mudradjat, Kompas 6/6/2014). Bukan tidak mungkin, kebijakan ini juga akan berdampak negatif terhadap penerimaan ekspor. Ini terjadi sebagai akibat meningkatnya harga jual produk ekspor vis a vis harga produk impor sejenis pasca pencabutan subsidi.

Pencabutan subsidi listrik akibatnya seperti tergambar dalam kalimat: si kaya dilindungi, si miskin dibiarkan bertarung sendiri.

Bicara tentang masyarakat mampu dan tidak mampu, juga harus dilihat fakta tentang kesenjangan ekonomi di Indonesia. Dimana antara si kaya dan si miskin gap-nya yang sangat tinggi. Hal ini tergambar dalam laporan Oxfam Indonesia dan International NGO Forum on Indonesia Develop­ment (lNFID) pada 23 Februari 2017 yang menguak kondisi ketimpangan ekonomi Indonesia yang cukup memprihatinkan.

Oxfam mencatat, kekayaan empat orang terkaya di Indonesia setara dengan gabungan kekayaan 100 juta orang termiskin. Hal ini mengejutkan. Bagaimana mungkin 1 persen orang terkaya di Indonesia, menguasai 49 persen total kekayaan seluruh rakyat Indonesia. Dengan kata lain, dibutuhkan 22 tahun untuk menghabiskan harta kekayaan 1 orang terkaya Indonesia dengan belanja mencapai 1 Miliar per hari.

Pencabutan subsidi pasti berdampak pada masyarakat yang masuk dalam kategori 100 juta orang termiskin tadi. Padahal, pada tahun 2016, pemerintah sudah menerapkan kebijakan tax amnesty (pengampunan pajak) yang berarti merupakan penghapusan tarif pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara mengungkapkan harta kekayaan yang dimiliki.

Dengan adanya kebijakan ini, pengusaha-pengusaha kaya di Indonesia melakukan deklarasi harta kekayaan. Lucunya, tiga dari empat orang terkaya di Indonesia juga meminta pengampunan pajak. Langkah pemerintah untuk memberikan pengampunan pajak bagi orang terkaya dengan belanja mencapai 1 Miliar per hari, menjadi sangat kontras jika dihubungkan dengan kebijakan pencabutan subsidi listrik bagi 8,24 juta pengguna listrik dengan daya 450VA dan 18,9 juta pengguna listrik dengan daya 900VA. Apakah kebijakan seperti ini adil?

Pencabutan subsidi listrik dikeluhkan masyarakat, termasuk buruh. Karena listrik 900 VA merupakan salah satu item Kebutuhan Hidup Layak.

Saat menerima perwakilan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (10/05/2017), Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah mengatakan, kenaikan tarif dasar listrik (TDL) adalah sinyal tanda bahaya untuk pemerintah. Sekaligus membuat rakyat kecil makin menjerit.

“Semua mengeluh dan marah. Ada berita soal rakyat bunuh diri karena tak mampu membayar listrik,” kata Fahri.

Dalam kesempatan itu, KSPI mengadukan beberapa permasalahan soal kenaikan TDL. Diantaranya bahwa sekitar 19 juta pelanggan listrik PLN dengan pengguna golongan 900 VA mengalami kenaikan 30 persen dari harga semula. Terlebih lagi, listrik 900 VA merupakan salah satu dari 60 item dari Kebutuhan Hidup Layak (KHL) rakyat kecil. Harusnya tidak boleh naik.

Apakah ada jalan keluar, selain melakukan pencabutan subsidi? Tentu saja ada.

Solusi ini bisa digunakan apabila pemerintah tidak mengambil jalan pintas untuk menghemat anggaran, yang pada akhirnya berdampak pada menurunnya daya beli masyarakat.

Mantan Menko Maritim dan Sumber Daya, Rizal Ramli mengatakan, janganlah kita mengambil uangnya masyarakat yang nyaris miskin yang pasti akan turun menjadi masyarakat miskin. Kemudian kita subsidikan kepada masyarakat miskin yang belum mendapat listrik yang pasti akan tetap miskin.

Ini namanya subsidi silang antara masyarakat nyaris miskin dan masyarakat miskin serta akan menambah jumlah kemiskinan di Indonesia.

Karena itu, menurutnya, solusinya adalah menghilangkan inefisiensi di PLN, yaitu menekan rugi-rugi transmisi bisa menghemat Rp 6,3 triliun, penghematan dalam pembelian bahan bakar bisa menghemat Rp 20 triliun, menekan biaya proyek 10 persen bisa menghemat Rp 40 triliun. Sehingga totalnya bisa menghemat Rp 66,3 trilyun yang jauh lebih besar daripada mengambil uang Rp 19 juta masyarakat pelanggan 900 VA yang secara ekonomi termasuk masyarakat nyaris miskin (near poor). Dengan diambil uangnya sebesar Rp 15,44 triliun oleh PLN/pemerintah, maka bisa dipastikan mereka akan menjadi masyarakat miskin.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *