5 Alasan Serikat Pekerja Menolak Otomatisasi Gerbang Tol Seratus Persen

Jakarta, KPonline – Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia) dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) tegas menolak gerbang tol otomatis (GTO) 100 persen. Menurutnya, alih-alih menguntungkan, kebijakan ini lebih banyak merugikan masyarakat pengguna jalan tol. Termasuk akan merugikan pekerja jalan tol.

Berikut adalah beberapa alasan, mengapa serikat pekerja menolak kebijakan otomatisasi gerbang tol 100 persen.

Bacaan Lainnya
1. GTO tidak akan mengurangi kemacetan.
5 hal yang menyebabkan kemacetan di jalan tol. Bukan karena pekerja tol lambat melakukan transaksi, sehingga menjadi alasan pembenar mereka bisa digantikan dengan mesin.

Pernyataan ini disampaikan Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi. Menurut Tulus, GTO yang mengharuskan pengguna jalan tol membayar menggunakan uang elektronik tidak mengurangi kemacetan di jalan tol.

“Yang menyebabkan kemacetan di jalan tol adalah volume kendaraan yang tinggi. Karena itu, GTO dan kewajiban uang elektronik tidak berguna untuk mengurangi kemacetan,” kata Tulus di Jakarta, Jumat (22/9) seperti diberitakan Antara.

Lebih lanjut tulus menyanpaikan, “Wong sebelum masuk dan keluar pun sudah macet. Jadi sebenarnya tidak ada nilai lebihnya menggunakan e-Toll kalau bicara fungsi riil-nya.”

Adapun yang penyebab utama kemacetan di jalan tol adalah volume kendaraan yang tidak sebanding dengan lajur tol, pertemuan arus baru dari pintu masuk tol, banyaknya kendaraan besar yang berjalan lambat, kendaraan besar mogok atau terjadi kecelakaan lalu lintas, serta pintu keluar tol berdekatan dengan lampu merah jalan arteri dan perempatan jalan.

Tidak ada satu pun yang menyebutkan bahwa kemacetan dikarena petugas tol lambat dalam melakukan transaksi di pintu tol. Oleh karena itu, solusi mengatasi kemacetan bukanlah dengan mengganti transaksi tunai menjadi non tunai.

Selain itu, ada gardu tol (terutama di luar Jabodetabek) yang tidak pernah mengalami kemacetan. Pertanyaannya, mengapa gardu tersebut juga diotomatisasi? Bukankah dengan transaksi secara tunai pun, gardu tersebut lancar-lancar saja?

2. GTO merugikan konsumen, karena isi ulang e-toll dikenakan biaya
Otomatisasi gerbang tol berpotensi menyebabkan PHK besar-besaran yang akan menambah pengangguran.

Sudahlah otomatisasi pintu tol tidak mengurangi kemacetan, setiap kali isi ulang, konsumen akan dikenai biaya. Kebijakan ini hanya akan menguntungkan pengelola jalan tol dan perbankan.

Menanggapi hal ini, lagi-lagi YLKI memberikan komentar. “Secara filosofi saja kami tidak setuju dengan biaya isi ulang itu. Konsumen dipaksa menggunakan uang elektronik dengan dalih untuk mendukung masyarakat tanpa uang tunai. Seharusnya konsumen menerima insentif (bonus) karena sudah ikut mendukung, bukan malah disinsentif (tambahan biaya),” ujarnya.

Senada dengan YLKI, Presiden ASPEK Indonesia Mirah Sumirat mengingatkan masyarakat untuk kritis karena pemilik dan pengguna kartu e-toll, karena tanpa sadar uang mereka sesungguhnya telah “diambil paksa”. Mirah mencontohkan, apabila masyarakat membeli kartu e-toll seharga Rp.50.000,- sesungguhnya hanya mendapatkan saldo sebesar Rp.30.000,-.

Belum lagi dana saldo e-toll yang mengendap di bank karena tidak dipergunakan oleh pemilik kartu dan adanya biaya top up. Bayangkan, berapa triliun dana masyarakat yang akan diambil paksa dari sistem ini?

3. GTO telah membuat Rupiah sebagai alat pembayaran yang sah, menjadi tidak berlaku.
Dengan otomatisasi 100%, akibatnya masyarakat pemegang uang tunai tidak bisa menggunakan uangnya untuk membayar tol.

Hal ini bertentangan dengan UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (UU Mata Uang), dimana disebutkan bahwa uang adalah alat pembayaran yang sah dan mata uang yang dikeluarkan oleh Negara Republik Indonesia adalah rupiah, dengan ciri-ciri yang juga telah diatur dalam UU Mata Uang.

Transaksi melalui GTO hanya dapat dilakukan oleh pengguna jalan yang memiliki e-Toll Card, padahal fitur e-Toll hanya bersifat sebagai pengganti uang cash dan bukan merupakan alat pembayaran yang sah sebagaimana diatur dalam UU Mata Uang.

Dalan Pasal 23 Undang-Undang tentang Mata Uang menyatakan, bahwa “Setiap orang dilarang menolak untuk menerima rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan Rupiah dan/atau untuk transaksi keuangan lainnya di wilayah NKRI”.

Dalam UU Mata Uang terdapat sanksi pidana terhadap orang yang menolak menerima Rupiah, yaitu dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun dan pidana denda paling banyak 200 juta rupiah (Pasal 33 ayat 2). Bahkan apabila dilakukan oleh korporasi, pidana dendanya ditambah 1/3 dari denda maksimum, penyitaan harta benda korporasi dan/atau pengurus korporasi, hingga pencabutan ijin usaha (Pasal 39 ayat 1).

Dengan adanya GTO 100%, akibatnya masyarakat tidak lagi mempunyai pilihan. Bahkan ketika masyarakat memiliki rupiah, tetap saja rupiah yang mereka miliki tidak bisa digunakan sebagai alat pembayaran.

4. Melanggar hak konsumen.
Sebagian konsumen ingin dilayani dengan senyum yang ramah, bukan melakukan transaksi sendiri dengan mesin yang dingin. Oleh karena itu, seharusnya konsumen tetap diberikan pilihan.

Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen disebutkan, bahwa konsumen berhak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.

Sebagaimana kita ketahui, alat tukar yang sah di Indonesia adalah Rupiah. Oleh karena itu, dengan otomatisasi 100%, akan merampas hak konsumen untuk menggunakan uangnya untuk melakukan pembayaran secara tunai.

Oleh karena itu, serikat pekerja mengusulkan agar masyarakat tetap diberikan opsi untuk membayar tunai atau non tunai. Bukan dengan mewajibkan seluruh gardu tol untuk melakukan pembayaran non tunai.

Bagaimana jika ada pengguna tol, yang hanya sekali saja lewat jalan tol? Apakah mereka tetap harus membeli e-toll sebesar 50 ribu dan setelah itu tidak dipakai? Jika seperti ini, otomatisasi gardu tol untuk kepentingan siapa?

5. Potensi PHK besar-besaran
Kurang lebih 20.000 pekerja tol terancam kehilangan pekerjaan apabila otomatisasi gerbang tol diterapkan 100 persen.

Dalam pembayaran tunai, dalam sehari 1 gardu tol dijaga oleh 5 orang pekerja jalan tol (sistem kerja sift). Ada informasi, jika otomatisasi diberlakukan, maka 3 gardu tol cukup dijaga 1 orang pekerja jalan tol. Dengan demikian, setiap 3 gardu tol, akan ada 14 orang pekerja tol yang di PHK. Jika otomatisasi diberlakukan di seluruh Indonesia, kurang lebih 20.000 pekerja tol akan kehilangan pekerjaan.

Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan, “Jika otomatisasi gardu tol tetap dijalankan berarti pemerintah tidak melihat kondisi nyata ekonomi, baik makro maupun mikro. Di tengah daya beli masyarakat dan kesenjangan sosial yang semakin melebar, pemberlakuan otomatisasi gardu tol semakin meningkatkan angka pengangguran di Indonesia.”

Angka PHK tinggi akan meningkatkan angka kesenjangan dan memukul daya beli masyarakat, kata Iqbal.

Karena itu KSPI secara tegas menolak otomatisasi gardu tol. KSPI akan melakukan aksi solidaritas di seluruh Indonesia. Selain itu, KSPI akan mengajukan gugatan resmi kepada pemerintah terkait peraturan otomatisasi gerbang tol.

Pos terkait